RSS

PENGARUH TELEVISI PADA PERILAKU ANAK

ABSTRAK
Televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian. (Dwyer)

Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa.

Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan acara yang tepat.

PENDAHULUAN
Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.

Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sekitar satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab membanjirnya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya adalah anak-anak muda.

Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar televisi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak "dor dor.. dor... sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya. Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka menirukan idolanya di TV. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka membuat busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat digemari anak-anak.

Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkha-watirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.

Memang televisi semakin dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari berbagai stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir semua stasiun TV menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng orang tua saat pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta konstribusi faktor keluarga dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.

Potensi Media Televisi
Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat? terutama pada anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut.

Ekspresi korban kerusuhan di Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.

Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui stasiun televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan di Jayapura dalam waktu bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan melawan Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksi-kannya Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.

Dari segi penontonya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan.

Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh, objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam kelas.

Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Memang kekuatan televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.

Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang. Adegan memenggal kepala orang, bertarung di angkasa dan bentuk adegan lainnya yang tidak lazim dilakukan dalam kehidupan, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.

Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek yang jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegi-rangan ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi inter-personal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi berita, memberi-kan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempunyai posisi stategis dalam menyampaikan pesan pada khalayak.

Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.

Acara Anak dan Film Kartun
Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.

Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.

Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama. Sri Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%).

Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mence-lakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%). Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman dan Superman.

Perbedaan budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap subtansi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka, ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah.

Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.

Dampak Tayangan Televisi pada Anak
Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana.

Mereka cenderung mengang-gap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak.

Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan.. Bertolak dari pandangan ini, pembiasan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian bangsa. Karena saat ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.

Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan lang-sung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.

Faktor Keluarga
Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 199. Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai masalah remaja, seperti perkelahian, tawuran narkotika, dan premanisme lainnya bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan keluarga saat ini yang cenderung meng-khawatirkan.

Yang lebih menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Dedi Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi.

Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.

Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya.

Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.

Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendapinggi putra putrinya nonton TV. Kini si keci dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komun-ikasi orang tua dan anak dituntut lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.

Catatan Akhir
Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.

Gencarnya tayangan televisi yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan sensual menimbulkan kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih penting menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayang-an televisi, karena faktor keharmo-nisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya.

Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan sekaligus meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA
§ Onong Uchyana Effendy, Drs., Komunikasi dan Modernisasi, Saduran Himpunan Karya Carl I. Hovland, Charles Cooley, Wilbur Schramm, Bernard Betelson, Ithel De Sola Pool, Penerbit Alumni, Bandung, 1973.
§ ________________, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti,
§ Fishbein, M. and I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to The Rogers, Everett M. & F. Floyd Shoemaker, Communication of Innovation, Diterjemahkan oleh Drs. Abdillah Hanafi, dalam Memasyarakatkan Ide-ide Baru, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1981.
§ Samovar, Larry A, Cs., Understanding Internasional Communication, Ward worth Publishing Company, California, 1985.ory and Research. Addison-Wesley, Reading. MA.
§ O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department, Palomar College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.
§ Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved June 3, 2006.
§ Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.
UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23


*Oleh; Imron Hamzah
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Univ. Yudharta Pasuruan

READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KRITIK-KONTRUKTIF EKSISTENSI HUKUM: ANSOS MENUJU REKSOS

Dalam pembukaan UUD 1945 – bagian penjelasan – disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat) dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

Menurut Roman Herzog, ide pokok yang melatar-belakangi munculnya konsep “negara berdasarkan atas hukum / rule of law” adalah bahwa negara dibentuk untuk mengatur kepentingan manusia, mengedepankan pembangunan rakyat. Dari situ sangatlah jelas bahwa negara didasarkan atas hukum (rule of law) menolak secara tegas adanya negara totaliter (totalitarian state) yang mampu mencetak setiap setiap individu berhamba kepada ideologi – ideologi dalam pengertian negatif.

Dalam konsepsi rule of law, yang menjadi garapan pokok atau sentral aktivitas suatu negara adalah harkat dan martabat manusia dan sekaligus dijadikan suatu standar dan parameter dalam menentukan arah tindakan suatu negara. Jadi – intinya – tugas utama negara adalah sebagai pelayan terhadap kepentingan yang dimiliki seluruh rakyat /warga dengan tanpa adanya praktik diskriminasi.

Namun, ketika kita mengamati realitas sosial melalui praktik analisa sosial – tentunya. Kayaknya, istilah “negara berdasarkan atas hukum / rule of law” hanya sebatas – sekedar – retorika dan jargon belaka tanpa adanya implementasi yang cukup berarti. Karena kita tahu, ketika kita melakukan kajian fenomenalogis melalui pendekatan realitas-praksis sosial yang ada, kayaknya, salah satu cikal-bakal utama munculnya berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi hukum kita yang sangat lemah.

Ditambah lagi dengan berbagai bentuk praktik-praktik diskriminasi dan marjinalisasi dalam penjatahan dan pengaturan sosial-ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA), sehingga – arah kedepannya – muncullah berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan publik, yang pada akhirnya berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.

Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa hukum kita telah menjadi sumber utama yang menyebabkan timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di negara indonesia ini.

Dari situ sudah jelas bahwa konsep negara hukum hanya sekedar wacana tidak menumbuhkan nilai-nilai implementatif yang bisa membawa kerukunan dan keseimbangan antar elemen masyarakat.

Kita patut mengatakan bahwa periode otoritarian yang intens selama – kurang lebih – tiga dasawarsa telah menghasilkan sistem hukum represif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara langsung oleh masyarakat tetapi secara tidak langsung telah membentuk kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama.

Tengok saja, misalnya, tindakan penganiayaan, pembunuhan serta tindakan-tindakan yang lain yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justeru memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justeru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Kayaknya – seakan-akan – kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah / konflik.

Karena telah mnenyangkut kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang relatif mapan. Maka pembaharuan terhadap hukum yang harus kita lakukan akan membutuhkan waktu yang relatif lama, ini karena masalahnya bukan saja menyangkut produk-produk hukum berupa perundangan-undangan, kebijakan administrasi atau putusan hakim, tetapi menyangkut pula kesadaran hukum dan struktur sosial yang menopangnya.

Pembaharuan hukum harus dilakuakan untuk melembagakan prosedur demokratis sebagai pola pengaturan, pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik ditengah masyarakat. Dan kita harus menjadikan hukum sebagai mekanisme bersama yang mungkin adanya partisipan masyarakat dalam setiap prosesnya. Dalam hal ini hukum tidak lagi dipandang – semata-mata – sebagai norma / aturan belaka, tetapi lebih jauh dari itu sebagai mekanisme pragmatik untuk menyelesaikan konflik secara damai.

Selain itu, pembaharuan hukumpun harus diletakkan dalam konteks transformasi sosial yang lebih luas. Karena pembaharuan hukum bukan sekedar penyusunan produk perundang-undangan. Yang lebih penting dari itu adalah menjadi bagian strategi pelembagaan nilai-nilai dan perilaku demokratik yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan dan penegakan hukum yang responsif terhadap perkembangan masyarakat.
________
Oleh : Achmed Nur Rachim
Mahasiswa Univ. Yudharta Pasuruan, prodi Adm. Niaga Angkatan 2002
READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PROFESIONALISME GURU; JAWABAN ATAS MUTU PENDIDIKAN

oleh; A.H. Ritonga


“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”

Profesionalisme merupakan sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transparansi di segala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Seorang profesional dituntut harus banyak belajar, membaca, menulis dan mendalami teori tentang profesi yang digeluti. Profesi bukanlah sesuatu yang permanen, ia akan mengalami perubahan dan mengikuti perkembangan kebutuhan manusia, oleh karena itu penelitian terhadap suatu tugas profesi sangat dianjurkan. Pelaksanaan kegiatan kita akan mencapai maksimal apabila dilakukan dengan meraba-raba atau mencoba-coba, akan tetapi suatu penerapan harus memiliki pedoman teoritis yang teruji kevalidannya. Ini berarti seorang yang profesional bekerja dengan mengandalkan teori, praktik dan pengalaman, berbeda dengan pekerjaan yang non profesional yang hanya berdasarkan praktik dan pengalaman.

Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan datang. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Menurut Undang-undang tentang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, mereka harus; 1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya; 3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; 4) mematuhi kode etik profesi; 5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas; 6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; 7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; 8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; 9) dan memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.

Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penanganan lebih serius. Profesionalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di “peti es” kan lagi. Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas dimana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara.

Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat dimunculkan lewat atmosfeer yang secara sengaja harus diciptakan oleh pemerintah.

Sekali lagi, seperti yang tercantum dalam PP RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Maka dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.

Guru sebagai sebuah profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu keahlian yang lebih spesifik.

Sehingga, untuk menuju profesionalitas tenaga pendidik, maka hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya, adalah pertama, penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan. Kedua, Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Ketiga, Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi “penganggur terhormat”, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Keempat, Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu “membangun” manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.

Kita tahu bahwa mutu pendidikan tak hanya dapat di ukur dari variable profesionalisme guru, akan tetapi setidaknya tindakan profesionalisme sang guru akan melahirkan pemberdayaan dalam proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Seiring bertambahnya perjalanan sang waktu, bertambah pula keprofesionalan guru yang dilengkapi bukti-bukti tindakan nyata seperti paparan di atas, sehingga implikasi lanjutan dari profesionalisme guru adalah turut andil dalam menyumbang proses menuju mutu pendidikan di Negeri tercinta ini.

READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

JANGAN ASAL JADI GURU

Predikat guru menunjukan keprofesionalan seseorang pada bidangnya yang bukan hanya bertugas mengajar tetapi juga mendidik. Profesi ini tentu didapatkan secara instan tetapi melalui rangkaian proses penguasaan ilmu atau melalui pendidikan khusus seperti pendidikan keguruan. Sehingga, meminjam bahasa KH. Sholeh Bahruddin (pengasuh pondok pesantren Ngalah Purwosari Pasuruan) untuk menjadi guru dibutuhkan 2 (dua) syarat dasar, yaitu istiqomah (baca: konsisten) dan uswatun khasanah (tauladan yang baik). Konsisten disini diartikan sebagai penguasaan ilmu pengetahuan dan profesionalisme diri seorang guru. Sedangkan tauladan adalah skill pendidikan yang berorientasi pada moral yang baik, dengan megedepankan contoh atau tauladan sikap, sifat dan ucapan yang baik.

Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan disetiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan (UU No.14 Thn 2005:2). Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran ideal, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan:

Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK.

Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya (Kompas, 9/12/2005). Dengan kondisi, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? (Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006).

Ketiga, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masingmasing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index (Satria Dharma:From:http:// suarakita. com/artikel. html). Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini.

Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat (Purwanto; From.http: //www. pustekkom.go.id). Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru.

Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru? (Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006).

Predikat guru yang diberikan kepada seseorang oleh pemerintah maupun masyarakat, adalah suatu predikat yang tidak semua orang bisa menyandangnya. Mereka yang mendapat predikat guru adalah orang-orang yang memiliki kemampuan pengetahuan secara alami tentang hakekat manusia dan hakekat pendidikan.

Predikat guru menunjukan keprofesionalan seseorang pada bidangnya yang bukan hanya bertugas mengajar tetapi juga mendidik. Profesi ini tentu didapatkan secara instan tetapi melalui rangkaian proses penguasaan ilmu atau melalui pendidikan khusus seperti pendidikan keguruan.

Tugas pendidikan juga tugas kemanusiaan. Manusia yang berpotensi itu dapat berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik.

Guru sebagai pendidik harus memahami hakekat manusia, karena tugas mendidiknya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan karena memahami hakekat manusia. Guru sebagai pendidik telah memahami secara jelas tentang manusia. Pemahaman ini akan melahirkan kemampuan kepada guru untuk menyusun peta karakteristik manusia.

Peta ini akan menjadi landasan dan acuan bagi guru dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik pembelajaran, memilih pendekatan dan membuat media pembelajaran, orientasi pembelajaran dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajran dalam pendidikan.

Untuk mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa, pendidikan menempati urutan utama dibandingkan dengan sektor lain. Dengan pendidikan sumber daya manusia (SDM) dapat dibangun, kecerdasan bangsa dapat ditingkatkan dan kesejahteraan dapat direntangkan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan adalah faktor utama dalam menguak kemajuan bangsa.

Akan halnya judul di atas, maka menurut Ulama aktifis harakah Islamiyyah, pendidikan itu haruslah mampu meliputi akal, fisik dan jasmani sekaligus. Bukankah manusia terdiri dari tiga unsur tersebut? Pendidikan yang hanya memprioritaskan aspek aqliyyah (akal an sich) saja tidak cukup. Bisa-bisa (na’uudzu billaahi dzaalika) melahirkan generasi ala cerita rakyat, malin kundang, sosok pemuda yang akhirnya ngelunjak terhadap ibu kandungnya. Kita pernah membaca di koran, ada pelajar yang membajak dan merampok para ibu di atas bis. Gejala apa ini? Belum lagi banyaknya pelajar yang membunuh pelajar dari sekolah yang lainnya.

Pendidikan yang hanya memperhatikan sisi jasmani akan melahirkan manusia-manusia ala robot yang hanya bisa diperintah ke sana ke mari, ‘gasak’ sana, sikut sini dengan tanpa melihat baik dan buruknya bagi dirinya maupun bagi orang lain atau yang lebih luas dari itu. Demi mendapatkan uang rela mengorbankan jabatan hingga merugikan Negara.

Pada akhirnya juga pendidikan yang cuma mengandalkan kesucian hati hanya akan melahirkan para “sufi” yang hanya berpuas diri pada ibadahnya tanpa banyak berbuat untuk kemaslahatan umat.

Namun secara harfiah, guru (tenaga pendidik) disebutkan dalam Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Jadi, setidaknya hakikat pendidik (guru) bukanlah sekedar tenaga pengajar yang bersifat jasmani, melainkan pendidik harus meliputi secara keseluruhan dari pendidikan jasmani, akal pikiran, dan fisik sekaligus.

READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PESANTREN SEBAGAI MINIATUR KELUARGA

Kata keluarga memang sering sekali menyapa telinga kita, yaitu sebuah tatanan yang kadang terdiri dari orang tua dan anak atau mungkin dalam cakupan yang lebih lebar lagi dimana ada eyang, paman, dan lain sebagainya. Namun, tidak hanya berhenti sampai di sana karena tidak kalah sering juga kita jumpai istilah keluarga besar suatu pendidikan, misalnya. Lantas, apakah keduanya memang tepat memakai istilah keluarga? Perlu diketahui jika ternyata pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah dan sosial. Keduanya masih terbagi dalam definidi yang sempit dan luas.

A. Definisi Keluarga
Berdasarkan hubungan darah:
a. Extended family. Keluarga yang terdiri atas unsur yang lengkap. Dimulai dari Eyang sampai pada keturunan selanjutnya yaitu cicitnya cicit. Misalnya: keluarga besar Bani Ihsan.
b. Prokreasi. Keluarga yang hanya terdiri dari anggota inti, yaitu orang tua dan anak saja.
Berdasarkan suatu hubungan:
a. kesamaan latar belakang pendidikan, letak geografis, profesi, dan lainnya. Misal: Ikatan Dokter Gigi Indonesia.
b. masih ada hubungan darah dalam skala luas, yaitu marga.

B. Lahir dan Alasan Terbentuknya Keluarga

Keluarga terdiri atas beberapa orang yang hidup bersama untuk jangka waktu yang lama. Adapun latar belakang pembentukannya akibat adanya rasa keseikatan dan kebersamaan yang menimbulkan kerelaan untuk menerima anggota apa adanya sekaligus beradaptasi dengannya. Hubungan tersebut tidak akan terbina jika tidak didasari oleh kasih sayang. Menurut Barber alasan pembentukan keluarga didasari oleh “desire of recognition and response” yaitu keinginan untuk mendapatkan sambutan dan penghargaan, meliputi keinginan untuk hidup bersama dan terjalin hubungan take and give sehingga muncullah ketenteraman lahir dan batin.

C. Fungsi Keluarga

Fungsi dari keluarga bermacam-macam. Kita bisa membedakannya, tetapi tidak bisa memisahkannya. Dan yang terpenting adalah tidak ada fungsi yang lebih utama karena fungsi tersebut tergantung pada kebutuhan untuk mencapai keutuhan dan kelancaran kehidupan. Adapun fungsi tersebut adalah; fungsi edukasi (pendidikan dan pembinaan), proteksi (perlindungan dari penyimpangan norma), sosialisasi (pendampungan dalam kehidupan bermasyarakat), afeksi (menumbuhkan rasa empati), religius (kesadaran akan kewajiban terhadap Tuhan), ekonomis (efektivitas dan efisiensi harta umtuk kemaslahatan keluarga, rekreasi (kondisi damai dan terlepas dari ketegangan dan kepenatan), dan biologis (terpenuhi kebutuhan jasmani, misal: makan).

D. Lini Keluarga

Sebagaimana artikel yang dilansir oleh Waka. Pondok putri pada edisi beberapa minggu lalu mengenai definisi keluarga harmonis. Penulis menanggapi bahwa definisi tersebut sangat tepat. Why? Keluarga harmonis adalah keluarga yang didalamnya terdapat unsur sinergitas pada seluruh elemen pembentuknya, yaitu orang tua dan putra-putrinya.

Unsur sinergitas meliputi lini yang bersifat vertikal dan horizontal. Lini vertikal terdiri atas orang tua dan anak. Termasuk di dalamnya berisi tata cara bersikap antara orang tua dengan anak. Hal tersebut teraktualisasi dalam tertatanya iklim kasih sayang yang bertujuan memberikan beberapa dampak pada anak yang akhirnya akan mendatangkan feedback untuk orang tua.


Lini horizontal yaitu lini yang sama statusnya, baik pada lini ibu dengan bapak sebagai orang tua atau adik dengan kakak yang menempati lini anak dalam keluarga. Lantas, bagaimana bersikap pada lini ini? Jawabnya adalah wajib ditumbuhkembangkannya sikap saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Dalam posisi ini masalah yang rentan adalah mengenai keadilan dalam pemenuhan hak. Adil bukan berarti sama rata atau digebyah uyah, akan tetapi pemenuhan hak berbanding lurus dengan kewajiban yang diemban seseorang. Seperti halnya pekerjaan rumah, mungkin adik diberi sedikit tugas berupa membersihkan halaman rumah sedang kakak bertugas lebih dari sekedar bebersih sampai tersedianya makanan di meja makan. Pemberian tugas tersebut tidak lain bertujuan untuk memeberikan pembelajaran tentang tanggung jawab. Di sisi lain, kakak mendapat uang saku yang lebih banyak dari adik dikarenakan tanggung jawab dunia pendidikannya lebih memerlukan banyak uang untuk mengerjakan tugas, misal.


E. Pesantren Sebagai Miniatur Keluarga

Jika kita tengok struktur pesantren kita ini, maka jelas sudah elemen pembentuknya, yaitu terdiri atas pengasuh yang merupakan orang tua dan pengurus sebagai kakak dari elemen yang diurus (grass root). Hubungan antara pengasuh dengan santri berpola vertikal dan hubungan pengurus dengan elemen di bawahnya berpola horizontal (mengingat status pengurus dan yang diurus adalah sama-sama santri). Dengan demikian apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dalam kedua pola tersebut harus benar-benar dijaga keseimbangannya.

Pada pola horizontal khususnya, segala yang menjadi hak santri (mendapatkan jaminan keamanan, fasilitas yang layak, kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi, dan lainnya) semaksimal mungkin mendapatkan jaminan pengembangan. Hal tersebut telah terbukti dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan yang telah dijalankan oleh masing-masing biro dalm kepengurusan. Misalnya, Biro Jam’iyah yang bertugas mempersiapkan output pesantren yang siap terjun di masyarakat melalui kegiatan muhadloroh yang didalamnya terdapat unsur pelatihan MC, Qori’, Sari Tilawah, Da’i, dan Kreasi Seni, lalu Biro H&I dengan kegiatan pelatihan Pembuatan Karya Tulis, dan beberapa kegitan biro lainnya. Akan tetapi jangan pernah lupa untuk memenuhi kewajiban sebelum mendapatkan hak.


Kewajiban santri diantaranya; pertama membayar syahriah. Karena dengan disiplin membayar syahriah semua kegiatan berjalan lancar; neon yang rusak dapat segera diganti atau atap bocor dapat segera dibenahi agar tidur dan belajar tidak lagi terganggu.


Kedua, mematuhi peraturan. Adanya aturan akibat pelanggaran. Jika kita flashback ke era 1997-an maka aturannya jauh berbeda denga kondisi saat ini. Dulu lokal sekolah antara putra-putri terpisah dan begitu ditemukan santri putra-putri berbincang-bincang, konsekuensinya adalah ta’ziran. So, jangan pernah berfikir bahwa aturan hari ini terlalu ketat. Tidak ketat bukan berarti longgar untuk dimanfaatkan lho! Dan semua yang berada dalam struktur keluarga pesantren-tanpa terkecuali, terikat dengan aturan tersebut.


Satu lagi kewajiban santri yang terpenting adalah menjaga kewibawaan diri sebagai santri. Kuncinya terletak pada akhlak, baik akhlak sewaktu berproses (ketika nyantri) ataupun pasca proses (setelah nyantri). Ketika berproses, santri harus bisa memilih sikap yang tepat kepada teman sejawat, kakaknya ataupun kepada dewan asatidz. Contoh kecil akhlaq kepada teman sejawat; mandi. Dimana untuk menghindari ghibah sebisa mungkin santri harus mampu merawat kebersihan diri dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap diri sendiri, sekaligus pemenuhan kewajiban terhadap teman sejawat untuk menumpas habis bahaya pencemaran udara akibat BB (Bau Badan) dan penyakit kulit seperti gudik dan panu. Selevel di atasnya, yaitu akhlaq terhadap kakak seperguruan (pengurus). Santri memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, namun bebas disini tidak bebarti kebablasan. Ketika santri merasa tidak nyaman dengan suatu kebijakan, maka sebaiknya dikomunikasikan dengan memberikan saran aspiratif dan juga menggunakan bahasa yang baik melalui kotak saran yang telah disediakan atau bisa jadi melalui road show (forum komunikasi pengurus-grassroot secara langsung). Mengingat pengurus adalah santri yang kebetulan mendapat mandat memegang amanah, dalam perjalannanya mungkin terdapat kelalaian. Maka, wajar kalau pengurus mendapat suntikan imunisasi dari grass root. Semisal ketika berkembang suatu isu yang merusak reputasi pesantren, jangan serta-merta mempercayainya. Coba cari informasi dari beberapa sumber yang akurat demi memperoleh kebenaran. Seperti yang difirmankan Allah: “Idzaa jaakum faasiqun bi nabain fatabayyanu”. Lha kalau maunya hanya disanjung saja padahal kinerja tidak memuaskan dan perilaku tidak layak, ini yang dinamakan “Ghaayaatul Junuun” yaitu penyakit tidak sadar diri stadium IV. Oleh karena itu marilah kita saling saling menghormati hak dan kewajiban, menjauhkan diri dari penyakit hati dan menjalin kasih sayang yang lekat dalam rangka menciptakan iklim keluarga harmonis. Coba bayangkan; seandainya kita saling bertutur kata sopan (berbahasa Jawa Krama) pada siapapun juga, berapa banyak yang melirik dan antri di belakang kita? Kita tidak akan kehabisan referensi, guy-girl! Begitu juga ketika kita berbicara dengan orang tua, pasti uang saku kita semakin tebal karena beliau merasa sukses mencetak putra-putri yang shalih/ah. Ingat: ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana!” dan semoga kita menjadi dambaan sejuta ummat. Amin!
________________________
- Rika Hernawati, S.Sos -
(Sekretaris PP.Ngalah Putri, Purwosari Pasuruan)

READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TUWAS TUWO, TUWO TUWAS; Refleksi Diri Terhadap Tangga Kedewasaan Jiwa

“Jiwa tua (dewasa); 1) berwawasan luas; 2) berhati luas dan dalam; 3) pemaaf; 4) pengayom semua tanpa pilah pilih dan pamrih” (Kyai Sholeh Bahruddin)

Kedewasaan merupakan pengharapan tiap individu anak Adam. Sering kita jumpai, bahwa dengan bertambahnya usia, maka diharapkan pula bertambahnya kedewasaan kita. Dalam khazanah psikologi, kedewasaan seseorang akan nampak bilamana sikap, sifat dan karakter mempunyai kesinambungan positif dalam bertindak, baik secara fisik maupun non fisik. Dalam alam nyata, tidak sedikit kita jumpai seseorang yang mungkin secara fisik dapat dikategorikan sebagai insan dewasa, namun pola pikirnya masih jauh dari dewasa, bahkan lebih cenderung pada kekanak-kanakan. Atau bahkan sebaliknya, kita bisa menjumpai juga orang yang secara fisik (umur) masih relatif muda, namun hal ihwal yang diejawantahkan mendeskripsikan bahwa orang tersebut dewasa.

Adanya sinergitas antara alam sifat, sikap dan karkater pada tingkah positif yang pada akhirnya memunculkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak merupakan hal yang tidak dumadaan muncul begitu saja. Melainkan butuh serentetan proses yang bisa dibilang cukup panjang dan bahkan berliku. Terutama dalam proses pembentukan kualitas mental dan spiritual yang merupakan pondasi dasar untuk menapakai tangga kedewasaan seseorang.

Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat mempengaruhi kualitas mental dan spiritual seseorang, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan sosial budaya yang berhubungan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku di masyarakat, termasuk di dalamnya pengaruh teknologi; televisi, HP, internet, dan media massa. Ketiga lingkungan tersebut saling menopang dalam mempengaruhi perkembangan dan pembentukan karakter seseorang.

Secara teoritis-praksis, kedewasaan seperti yang didawuhkan oleh Kyai Sholeh adalah seseorang yang memiliki seperangkat ketentuan-ketentuan tertentu. Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut tidak merupakan hal yang saklek, namun dengan hal itu setidaknya kita mampu mengetahui standarisasi kedewasaan perspektif beliau.

Seperti disebutkan diawal tulisan ini, kedewasaan seseorang bisa kita kaji melalui beberapa penelusuran, yaitu pertama, kedewasaan dapat diketahui dengan luasnya wawasan seseorang. Hal ini mengisyaratkan bahwa, pola pertama yang harus dimiliki oleh seseorang dalam menapaki tangga kedewasaan adalah wawasan alias keilmuan. Dengan keilmuan maka seseorang akan mampu melihat fenomena hidup tanpa suram apalagi gelap. Secara pribadi kita akan mengakui bahwa sangat jelaslah perbedaan antara orang yang memiliki keilmuan dengan tanpa memilki keilmuan. Karena tidak ada orang yang sukses tanpa kelimuan. Silahkan observasi dan renungkan?!!!

Kedua, berhati luas dan dalam. Ilmu atau wawasan yang kita miliki tidak akan mempunyai makna yang signifikan jika tidak dibarengi dengan sikap hati yang luas dan dalam. Dalam hal ini, hati merupakan tolak ukur dari sebuah keimuan. Karena hati merupakan tempat menimbang antara yang positif dan negatif dari tiap ihwal yang akan kita lakukan.

Ketiga, pemaaf. Instrumen ketiga dalam mengukur kedewasaan seseorang adalah sikap dan sifat serta watak pemaaf. Pemaaf atau memberi maaf merupakan sikap yang sangat sulit untuk dipraktekkan, terlebih lagi jika harus memaafkan kesalahan yang mungkin terlanjur njangget dalam hati. Namun, yang lebih abot lagi lagi adalah memberi maaf yang bukan hanya dengan sikap, melainkan dengan hati. Sehingga, kiranya ada benarnya jika ada pepatah “memberi maaf itu lebih sulit dari pada memintanya”. Lebih dari itu, sikap pemaaf merupakan upaya untuk melihat kesalahan bukan hanya pada bentuk kesalahannya tersebut, melainkan latar belakang kesalahan yang terjadi.

Keempat, pengayom semua tanpa pilah pilih dan pamrih. Ini adalah merupakan sikap yang sangat langkah dimiliki oleh golongan kita. Bahkan dalam atmosfer Nusantara saja, kyai Sholeh menyebutkan tidak lebih dari 10 (sepuluh) orang yang bisa bertindak sebagai pengayom semua golongan tanpa membeda-bedakan dan tanpa pamrih. Dalam ranah mikro, sering kali kita jumpai pribadi-pribadi kita yang juga masih sering membeda-bedakan sesama, melihat dan menilai hanya dengan fisik, mengukur pergaulan hanya dengan sikap senang terhadap materi, dan ada maunya.

Sikap pengayom merupakan inti dari penelusuran tangga kedewasaan seseorang. Karena entitas pengayom tidak dapat berdiri sendiri tanpa dilengkpai dengan seperangkat wawasan/keilmuan yang luas, sikap hati yang luas dan dalam, juga adanya sifat, sikap dan karakter pemaaf.

Sekali lagi kawan, kedewasaan tidak dapat diperoleh secara instan, apalagi dengan mengukurnya dengan bertambah-nya usia. Seperti yang kita simak dari paparan di atas, wawasan yang luas, hati yang luas dan dalam, pemaaf dan pengayom merupakan sikap yang membutuhkan proses panjang dan kemungkinan besar sangt berliku.

Bagaimana kita bisa memiliki wawasan yang luas, jika belajar saja dengan tanpa maksimal, membaca saja enggan, apalagi sinau dan lebih sering leha-leha?. Bagaimana kita bisa punya hati yang bersikap luas dan dalam jika hati kita tidak dilatih dengan kondisi spiritual (baca; ibadah) yang istiqomah, malah sering kali kita mengistiqomahkan nggosip lan cangkruk’an?. Bagaimana kita menjadi pemaaf, jika masih sering menyimpan dendam dan mencari-cari kesalahan sesama?. Dan bagaimana kita bisa menjadi pengayom kalau kita masih melanggengkan sikap pilih-kasih kepada sesama dan sering mendeskriditkan teman?

Sikap tuwo (dewasa) tidak akan muncul dalam jiwa kita, jika tidak kita latih mulai dari saat ini juga, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari diri sendiri. Karena kedewasaan juga membutuhkan media pelaksanaan yang ajeg. Sehingga nantinya dengan bertambahnya usia bertambah pula kedewasaan kita, yang pada akhirnya kita terbebas dari orang yang tuwas tuwo, tuwo tuwas!!! –


*Pernah dimuat di Buletin Ta'limiyah
READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENULIS; Gampang atau susah?

“Menulis…? Susah banget!”

Setidaknya, kalimat itu selalu muncul di setiap penulis pemula. Itu pula yang sering saya dengar dari teman-teman ketika diminta untuk menuliskan sesuatu. Entah itu ketika di kampus, atau di mana saja.

Memang, banyak orang berasumsi bahwa menulis itu susah, terutama bagi mereka yang baru saja memulai dunia tulis-menulis. Mungkin ini pula yang menyebabkan negara kita kemiskinan penulis regenerasi. Terbukti hingga kini Indonesia belum memiliki “penulis dunia.” Hanya seorang Pramoedia Ananta Toer yang memeliki nama di Internasional. Namun, dia bukan penyair. Hanya seorang penulis roman sejarah, lantas kemana Indonesia yang diangung-agungkan ke-sastrawanannya? Yang katanya sudah lahir sejak beberapa abad lalu dengan beragam periodesasi?

Banyak hal yang membuat seseorang itu merasa tidak yakin dengan hasil karyanya, meski di antara mereka sebenarnya banyak tersimpan memori yang tak kalah menarik dengan penulis yang sudah jadi. Rasa percaya diri yang kurang mapan membuat mereka tidak yakin dengan diri sendiri dan hasil kerjanya. Akhirnya mereka berhenti sebelum mencoba. Mereka merasa tulisannya masih belum sempurna, malu dengan Penulis yang telah jadi.

Pada prinsipnya di dunia ini semuanya butuh proses. Tak ada kejadian tanpa melewati proses, entah proses itu yang kontinyu atau tidak. Hanya kekuasaan Tuhanlah yang tak memerlukan proses.

Rasa kurang percaya pada hasil cipta sendiri tadi menjerumuskan mereka pada menciplak karya orang lain, akhirnya predikat Plagiator pun tersandang di namanya. Memang tak salah ketika kita menyukai sebuah tulisan orang, gayanya bercerita, atau sebagainya. Namun itu hanya sebagai pemula buat meneruskan langkah berikutnya. Dan bukan menciplak sepenuhnya, hanya mencontoh gayanya. Itu hanya dijadikan buat mencari jati diri. Selanjutnya temukanlah orisinilitas dalam pribadi sendiri. Karena Plagiat itu “haram” hukumnya. Menciptakan orisinilitas pribadi dalam sebuah karya sangat sulit tergantikan di meja sastra.

Penyebab lain yang membuat kurangnya Penulis di daerah ini karena anggapan terhadap Media (Koran atau Majalah). Seringkali orang menjadikan Koran sebagai tolak ukur sebagai penentu layak tidaknya seseorang itu dikatakan Penulis. Anggapan dasar bahwa pabila tulisannya sudah dimuat di Koran, (sekurang-kurangnya koran lokal) barulah ia diakui sebagai penulis. Hal ini cenderung membuat orang pesimis terhadap hasil karya sendiri. Ketika hasil karyanya tidak dimuat, padahal sudah beberapa kali mengirim ke koran, ia merasa tidak pantas untuk jadi penulis. Dan akhirnya ia berhenti menulis. Pesimisme membuat ide tercampakan begitu saja.

Mengutip pendapat Idrus yang mengatakan “Banyak jalan menuju Roma,” saya merasa banyak jalan menjadi penulis. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan predikat Penulis itu. Misalkan saja dengan mempublikasikan hasil tulisan kita itu (apakah itu fiksi atau nonfiksi). Apakah di majalah dinding (mading) atau kepada teman. Lantas minta pendapat teman kita itu. Jangan takut dikritik. Jadikan kritikan itu sebagai movipasi untuk memperbaiki hasil karya kita itu ke depan. Sesekali minta pendapat guru, atau orang yang memang sudah ahli di bidang yang kita tulis itu, minta masukan darinya.

Semua bisa dilakukan dalam memulai dunia kepenulisan. Bisa berawal dari menulis buku Harian. Mencatat semua kejadian yang kita alami sehari-hari. Lalu tulisan-tulisan itu kita bukukan menjadi sebuah buku yang indah untuk dibaca. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami. Misalkan dengan menghindari kepuitisan ketika hanya menulis sebuah laporan perjalanan atau opini.

Kenyataannya banyak penulis besar ternama yang berawal dari buku Harian. Soe Hoggie misalnya yang mengawali kariernya sebagai penulis sekaligus membuat Film beranjak dari buku Harian (Memoar). Tentunya masih banyak lagi penulis lain yang beranjak dari memoar atau diary. Artinya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menjadi Penulis.

Kejadian-kejadian yang kita alami sehari-hari bisa dijadikan sebuah tulisan, tergantung kita mau menulisnya dalam bentuk apa. Misalkan kejadian tabrakan, pemboman, pencurian, korupsi, kebakaran, dan fenomena-fenomena alam lainnya, semua bisa kita tuliskan dalam bentuk apa saja. Sutardji Calzoum Bahri–presiden penyair Indonesia pernah berkata, menu masakan di Restoran pun dapat dijadikan puisi (kebetulan Tardji dan kawan-kawan waktu itu sedang berada di Restoran Taman Ismail Marzuki). Ketika itu Tardji meminta Simbolon untuk membacakan menu masakan mereka, maka mengalirlah tawa dan saling mengangguk bahwa betul lah apa yang baru saja dikatakan presiden Penyair itu. Namun demikian, tidak selamanya perkataan seorang Presiden itu betul seluruhnya, karena Presiden bukanlah Tuhan yang berfiman. Semuanya tergantung pada kita.

Sanggahan lain tentang menulis itu susah juga sudah diutarakan Arswendo Atmawiloto dalam bukunya yang diterbitkan 20 tahun silam. Arswendo mengatakan, “Mengarang itu gampang”. Jika Tidak percaya? Baca saja buku yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Jakarta 1984 lalu.

Pada prinsipnya untuk menjadi sesuatu itu butuh proses. Tidak mungkin seseorang langsung menjadi seorang Penulis jika tidak ia mulai dari mencoba dan mencoba. Inilah yang dikatakan proses. Hanya saja ada yang mengalami proses yang panjang dan ada yang langsung jadi. Pramoedia Anantatoer saja ketika mengawali karirnya di bidang menulis mendapat ejekan dari orang lain. Ketika itu Idrus pernah berkata pada Pram, “Kamu berak atau nulis?”. Namun Pram menjadikan ejekan itu sebagai motivasi dan ia malah menganggap Idrus sebagai guru yang membuatnya harus lebih optimis. Pramoedia menjadikan ejekan Idrus sebagai tantangan sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia ‘menulis’ bukan ‘berak’.

Jadi, disini saya mau mengatakan bahwa sesuatu itu harus penuh tantangan, sebab hidup ini sendiri adalah tantangan. Ketika tulisan kita tidak dihargai di suatu tempat maka mintalah penilaian ke tempat lain pula. Jika tidak dimuat dikoran pada pengiriman pertama, kedua, ketiga, kirimlah terus keselanjutnya hingga suatu ketika karya kita dimuat. Jangan pernah merasa bosan. Dan ketika dimuat pada kali pertama, janganlah pernah merasa cukup. Cobalah keselanjutnya terus. Karena dunia kepenulisan tak pernah berakhir. Jika ada masukan dan kritikan yang masuk, hargailah ia meski pedas. Sebab kebiasaanya sebuah kritikan bisa dijadikan pukulan untuk maju. Jadikan ia sebagai tantangan yang akan memotivasi kita untuk dapat membuktikan diri kita sendiri.

Sekali lagi saya katakan Koran bukan satu-satunya dinding yang harus kita tembus menjadi seorang Penulis. Seperti yang saya katakan, bisa mengawalinya di majalah dinding (mading), apakah itu madding sekolah/ kampus, madding pribadi, atau semacamnya. Atau cara lain bisa langsung bekerjasama dengan badan penerbit untuk menerbitkan buku hasil karya kita. Tentunya setelah penilaian tulisan itu layak terbit.

Pebanyakalah membaca karena banyak membaca kita jadi banyak tahu. Banyak tahu banyak pula yang akan kita jadikan dalam sebuah tulisan. Ibarat gelas kosong, ketika diisi air yang banyak ia akan meluah ke luar. Begitu juga dengan membaca, jika kita banyak membaca, semuanya padat di kepala, dengan sendirinya ia akan minta untuk ditumpahkan juga.

Maka mulailah dari dini, mulai menulis dan terus menulis, karena menulis merupakan kegiatan mengingat dan mengingatkan. Ingat senang dan ingat susah, mengingatkan diri sendiri dan mengingatkan orang lain. Mengingat yang telah pergi dan mengingat yang akan datang, juga bisa mengingatkan “peradaban pemerintah”.


*Oleh; Herman RN
http://lidahtinta.wordpress.com/

READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KHILWAH KEHIDUPAN

Sebuah keniscayaan lidah yang acapkali tersedak dengan berbagai menu retorika kehidupan usang mengisyaratkan kepada sang khalik, betapa mulianya hidup dengan berbagi sesama
READ MORE -

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS