RSS

‘Dagang Hukum’, Keniscayaan Era Pasar Bebas

‘Dagang Hukum’, Keniscayaan Era Pasar Bebas

Gara-gara jadi korban praktek ‘dagang keadilan’ yang dilakukan hakim Jembuddin dalam peradilan sesat, sekumpulan orang yang dikordinasi Sukiran berencana akan melakukan aksi unjuk rasa bersama sejumlah LSM dan aktivis kampus ke gedung Mahkamah Agung. Mereka mendesak penerapan hukuman mati terhadap para hakim yang telah memperdagangkan hukum dalam kegiatan ‘Mafia’ yang mengoyak-koyak rasa keadilan masyarakat. Sebelum aksi turun ke jalan dilaksanakan, Sukiran menelepon Guru Sufi, memohon doa restu agar aksinya berjalan lancar dan tidak menyimpang dari tujuan. Ternyata, tidak mendapat doa restu, Guru Sufi malah menertawakan tindakannya sebagai hal naif yang ditopang emosi kekanak-kanakan.

Penasaran dinilai naif dan kekanak-kanakan, setelah membatalkan aksi demonya, Sukiran bersama tiga orang temannya bergegas menemui Guru Sufi yang sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, dan Dullah di teras mushola pesantren. Dengan nafas masih tersengal-sengal ia meminta kejelasan seputar alasan Guru Sufi menilainya naif dan kekanak-kanakan. “Kami adalah korban kedzaliman hakim Jembuddin, Mbah Kyai. Salahkah kami ramai-ramai meminta hakim jahat seperti Jembuddin dihukum mati?” kata Sukiran tidak terima.

“Justru karena kalian korban dan kemudian menuntut,” kata Guru Sufi dengan suara datar, ”Masalahnya jadi semacam dendam pribadi. Artinya, kalau yang ditangkap bukan hakim Jembuddin, kalian tidak akan melakukan aksi turun ke jalan kan?”

“Tapi kami didukung LSM dan aktivis mahasiswa, Mbah Kyai,” Sukiran tak terima.

“Lepas dari didukung atau tidak didukung, yang pasti niat kalian semata-mata ditujukan kepada pribadi hakim Jembuddin. Padahal, masalah justicionomic adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan di era global dengan pasar bebas dan masyarakat terbukanya (a global open society). Jadi mana mungkin sesuatu yang terjadi sebagai bagian dari keniscayaan jaman dapat diubah secara parsial oleh aksi-aksi unjuk rasa jalanan,” kata Guru Sufi.

“Justicionomic, apa itu Mbah Kyai?” tanya Sukiran heran.

“Itu istilah dari kata Nemein=mendistribusikan dan Iustitia= keadilan, yang bermakna mendistribusikan keadilan, hukum, dalam arena pertukaran ekonomi. Jadi yang dimaksud Justicionomic adalah mendistribusikan keadilan atau hukum sebagai komoditi pertukaran ekonomi. Demikianlah, produk dari proses hukum seperti penetapan pasal-pasal, rencana tuntutan, duplik sampai vonis adalah komoditi yang diperdagangkan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi,” kata Guru Sufi.

“Kayaknya mustahil Mbah Kyai, ada produk hukum dijadikan komoditi seperti produk pabrik,” sahut Sukiran.

“Engkau menilai mustahil, karena caramu memandang dengan menggunakan wacana lama yang didasarkan pada paradigma negara bangsa (nation state). Coba sesuaikan caramu memandang dengan wacana baru yang didasarkan paradigma liberalisme dan lebih-lebih neo-liberalisme, engkau akan mendapati semua hal sebagai komoditi. Maksudnya, bukan hanya hukum dan keadilan yang dijadikan komoditi untuk diperdagangkan, bahkan nafsu syahwat pun akan dijadikan komoditi yang didistribusikan sebagai barang dagangan dalam suatu pertukaran ekonomi, yaitu fenomena yang disebut Libidonomic. Agama yang suci pun, jadi komiditi yang diperdagangkan yang diberi sebutan mentereng: Religionomic,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Jika hukum sudah jadi komoditi, bagaimana kedudukan negara?” tanya Sukiran ingin tahu. “Negara akan dikuasai oleh aparatur yang disebut Bung Karno dengan istilah Kabir singkatan dari Kapitalis Birokrat (bureaucrat capitalism), yaitu aparatur yang menjadikan seluruh mekanisme dan produk kebijakan negara sebagai komoditi untuk pertukaran ekonomi,” sahut Guru Sufi.

“Nah kasus Miranda Goeltom menjadi Deputy Gubernur BI dengan cara membeli dukungan suara dari anggota DPR RI seharga Rp 500 juta, apakah ‘dukungan suara’ itu bisa disebut komoditi dukungan legislatif dan anggota DPR RI yang terima duit bisa disebut sebagai aparatur Kabir?” tanya Sukiran ingin tahu.

“Benar sekali,” sahut Guru Sufi,”Dan selama menjadi deputy gubernur BI, Miranda pun berkedudukan sebagai Kabir dengan nilai komiditi lebih mahal dibanding modal yang telah dia keluarkan untuk membeli suara dukungan, “ kata Guru Sufi.

“Berarti kasus pemberian komisi atau fee dalam pembangunan perumahan atlit SEA Games di Sumatera Selatan, dilakukan para Kabir juga,.Mbah Kyai?” tanya Sukiran minta penegasan.
“Ya, begitulah.”
“Tapi kan duitnya untuk kas parpol?”

“Meski ke parpol tapi Kabir juga kebagian,” kata Guru Sufi,”Nah, parpol di era global dalam negara yg menganut prinsip-prinsip neoliberalisme adalah berkedudukan sebagai counter dan distro untuk menjual macam-macam jabatan, di mana modalnya dengan cepat berlipat-lipat hingga meluber ke mana-mana terutama jika jabatan-jabatan yang dijualnya itu dipakai rezim berkuasa. Demikianlah, di era pasar bebas dan masyarakat terbuka ini, parpol lebih kaya daripada negara.”.

“Maaf Mbah Kyai,” sahut teman Sukiran menyela,”Apa mungkin parpol bisa lebih kaya dari negara? Kok rasanya mustahil, Mbah Kyai.”
“Aku tidak mengada-ada, itu adalah fakta,” sahut Guru Sufi.
“Buktinya apa Mbah Kyai?” tanya teman Sukiran.
“Sampean yakin parpol-parpol di negeri kita memiliki dana berlimpah-limpah?” Guru Sufi bertanya balik.
“Haqqul yaqin, Mbah Kyai.”
“Pernahkah sampeyan dapat info ada parpol punya utang? Terlilit utang? Menggadaikan inventaris milik parpol?” tanya Guru Sufi.
“Ya tidak mungkin ada parpol punya utang.”
“Kalau negara kita?” tanya Guru Sufi dengan suara ditekan,”Apakah sampeyan percaya negara kita punya hutang?”
“Alamaaaak, benar sekali,” sahut teman Sukiran menggaruk-garuk kepalanya,”Kasihan negaraku. Sudah miskin, banyak utang lagi.”

“Itulah tatanan global jika sebuah negara menganut prinsip-prinsip neoliberal dengan konsep para bebas dan masyarakat terbukanya, yang memunculkan tragedi paling menyakitkan dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia ketiga,” kata Guru Sufi datar.

“Kenapa Mbah Kyai menyebutnya tragedi?” tanya Sukiran kurang faham.

“Aku sebut tragedi, karena di negara penganut prinsip-prinsip neoliberal eksistensi negara secara sistematis dibikin menjadi sedemikian rupa miskinnya sampai langkahnya terseok-seok memikul hutang segunung, sementara pejabat dan aparatur negaranya kaya raya luar biasa karena memperdagangkan mekanisme dan produk kebijakan negara sebagai komoditi yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya,” kata Guru Sufi.


Dawuh: Mbah Agus

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

agribisnis mengatakan...

mulai manusia blm dilahirkan sudah menyandang mempunyai hutang, apabila para parpol2 lahirnya sebelum kemerdekaan berarti hutangnya sedikit gt mbah kyai

Arif H. Ayik mengatakan...

apapun itu, parpol menjadi salah satu faktor carut marutnya perpolitikan di Negeri ini kawan :D

Posting Komentar