RSS

KRITIK-KONTRUKTIF EKSISTENSI HUKUM: ANSOS MENUJU REKSOS

Dalam pembukaan UUD 1945 – bagian penjelasan – disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat) dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

Menurut Roman Herzog, ide pokok yang melatar-belakangi munculnya konsep “negara berdasarkan atas hukum / rule of law” adalah bahwa negara dibentuk untuk mengatur kepentingan manusia, mengedepankan pembangunan rakyat. Dari situ sangatlah jelas bahwa negara didasarkan atas hukum (rule of law) menolak secara tegas adanya negara totaliter (totalitarian state) yang mampu mencetak setiap setiap individu berhamba kepada ideologi – ideologi dalam pengertian negatif.

Dalam konsepsi rule of law, yang menjadi garapan pokok atau sentral aktivitas suatu negara adalah harkat dan martabat manusia dan sekaligus dijadikan suatu standar dan parameter dalam menentukan arah tindakan suatu negara. Jadi – intinya – tugas utama negara adalah sebagai pelayan terhadap kepentingan yang dimiliki seluruh rakyat /warga dengan tanpa adanya praktik diskriminasi.

Namun, ketika kita mengamati realitas sosial melalui praktik analisa sosial – tentunya. Kayaknya, istilah “negara berdasarkan atas hukum / rule of law” hanya sebatas – sekedar – retorika dan jargon belaka tanpa adanya implementasi yang cukup berarti. Karena kita tahu, ketika kita melakukan kajian fenomenalogis melalui pendekatan realitas-praksis sosial yang ada, kayaknya, salah satu cikal-bakal utama munculnya berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi hukum kita yang sangat lemah.

Ditambah lagi dengan berbagai bentuk praktik-praktik diskriminasi dan marjinalisasi dalam penjatahan dan pengaturan sosial-ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA), sehingga – arah kedepannya – muncullah berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan publik, yang pada akhirnya berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengerikan.

Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa hukum kita telah menjadi sumber utama yang menyebabkan timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di negara indonesia ini.

Dari situ sudah jelas bahwa konsep negara hukum hanya sekedar wacana tidak menumbuhkan nilai-nilai implementatif yang bisa membawa kerukunan dan keseimbangan antar elemen masyarakat.

Kita patut mengatakan bahwa periode otoritarian yang intens selama – kurang lebih – tiga dasawarsa telah menghasilkan sistem hukum represif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara langsung oleh masyarakat tetapi secara tidak langsung telah membentuk kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama.

Tengok saja, misalnya, tindakan penganiayaan, pembunuhan serta tindakan-tindakan yang lain yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah justeru memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justeru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Kayaknya – seakan-akan – kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah / konflik.

Karena telah mnenyangkut kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang relatif mapan. Maka pembaharuan terhadap hukum yang harus kita lakukan akan membutuhkan waktu yang relatif lama, ini karena masalahnya bukan saja menyangkut produk-produk hukum berupa perundangan-undangan, kebijakan administrasi atau putusan hakim, tetapi menyangkut pula kesadaran hukum dan struktur sosial yang menopangnya.

Pembaharuan hukum harus dilakuakan untuk melembagakan prosedur demokratis sebagai pola pengaturan, pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik ditengah masyarakat. Dan kita harus menjadikan hukum sebagai mekanisme bersama yang mungkin adanya partisipan masyarakat dalam setiap prosesnya. Dalam hal ini hukum tidak lagi dipandang – semata-mata – sebagai norma / aturan belaka, tetapi lebih jauh dari itu sebagai mekanisme pragmatik untuk menyelesaikan konflik secara damai.

Selain itu, pembaharuan hukumpun harus diletakkan dalam konteks transformasi sosial yang lebih luas. Karena pembaharuan hukum bukan sekedar penyusunan produk perundang-undangan. Yang lebih penting dari itu adalah menjadi bagian strategi pelembagaan nilai-nilai dan perilaku demokratik yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan dan penegakan hukum yang responsif terhadap perkembangan masyarakat.
________
Oleh : Achmed Nur Rachim
Mahasiswa Univ. Yudharta Pasuruan, prodi Adm. Niaga Angkatan 2002

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar