RSS

TUWAS TUWO, TUWO TUWAS; Refleksi Diri Terhadap Tangga Kedewasaan Jiwa

“Jiwa tua (dewasa); 1) berwawasan luas; 2) berhati luas dan dalam; 3) pemaaf; 4) pengayom semua tanpa pilah pilih dan pamrih” (Kyai Sholeh Bahruddin)

Kedewasaan merupakan pengharapan tiap individu anak Adam. Sering kita jumpai, bahwa dengan bertambahnya usia, maka diharapkan pula bertambahnya kedewasaan kita. Dalam khazanah psikologi, kedewasaan seseorang akan nampak bilamana sikap, sifat dan karakter mempunyai kesinambungan positif dalam bertindak, baik secara fisik maupun non fisik. Dalam alam nyata, tidak sedikit kita jumpai seseorang yang mungkin secara fisik dapat dikategorikan sebagai insan dewasa, namun pola pikirnya masih jauh dari dewasa, bahkan lebih cenderung pada kekanak-kanakan. Atau bahkan sebaliknya, kita bisa menjumpai juga orang yang secara fisik (umur) masih relatif muda, namun hal ihwal yang diejawantahkan mendeskripsikan bahwa orang tersebut dewasa.

Adanya sinergitas antara alam sifat, sikap dan karkater pada tingkah positif yang pada akhirnya memunculkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak merupakan hal yang tidak dumadaan muncul begitu saja. Melainkan butuh serentetan proses yang bisa dibilang cukup panjang dan bahkan berliku. Terutama dalam proses pembentukan kualitas mental dan spiritual yang merupakan pondasi dasar untuk menapakai tangga kedewasaan seseorang.

Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat mempengaruhi kualitas mental dan spiritual seseorang, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan sosial budaya yang berhubungan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku di masyarakat, termasuk di dalamnya pengaruh teknologi; televisi, HP, internet, dan media massa. Ketiga lingkungan tersebut saling menopang dalam mempengaruhi perkembangan dan pembentukan karakter seseorang.

Secara teoritis-praksis, kedewasaan seperti yang didawuhkan oleh Kyai Sholeh adalah seseorang yang memiliki seperangkat ketentuan-ketentuan tertentu. Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut tidak merupakan hal yang saklek, namun dengan hal itu setidaknya kita mampu mengetahui standarisasi kedewasaan perspektif beliau.

Seperti disebutkan diawal tulisan ini, kedewasaan seseorang bisa kita kaji melalui beberapa penelusuran, yaitu pertama, kedewasaan dapat diketahui dengan luasnya wawasan seseorang. Hal ini mengisyaratkan bahwa, pola pertama yang harus dimiliki oleh seseorang dalam menapaki tangga kedewasaan adalah wawasan alias keilmuan. Dengan keilmuan maka seseorang akan mampu melihat fenomena hidup tanpa suram apalagi gelap. Secara pribadi kita akan mengakui bahwa sangat jelaslah perbedaan antara orang yang memiliki keilmuan dengan tanpa memilki keilmuan. Karena tidak ada orang yang sukses tanpa kelimuan. Silahkan observasi dan renungkan?!!!

Kedua, berhati luas dan dalam. Ilmu atau wawasan yang kita miliki tidak akan mempunyai makna yang signifikan jika tidak dibarengi dengan sikap hati yang luas dan dalam. Dalam hal ini, hati merupakan tolak ukur dari sebuah keimuan. Karena hati merupakan tempat menimbang antara yang positif dan negatif dari tiap ihwal yang akan kita lakukan.

Ketiga, pemaaf. Instrumen ketiga dalam mengukur kedewasaan seseorang adalah sikap dan sifat serta watak pemaaf. Pemaaf atau memberi maaf merupakan sikap yang sangat sulit untuk dipraktekkan, terlebih lagi jika harus memaafkan kesalahan yang mungkin terlanjur njangget dalam hati. Namun, yang lebih abot lagi lagi adalah memberi maaf yang bukan hanya dengan sikap, melainkan dengan hati. Sehingga, kiranya ada benarnya jika ada pepatah “memberi maaf itu lebih sulit dari pada memintanya”. Lebih dari itu, sikap pemaaf merupakan upaya untuk melihat kesalahan bukan hanya pada bentuk kesalahannya tersebut, melainkan latar belakang kesalahan yang terjadi.

Keempat, pengayom semua tanpa pilah pilih dan pamrih. Ini adalah merupakan sikap yang sangat langkah dimiliki oleh golongan kita. Bahkan dalam atmosfer Nusantara saja, kyai Sholeh menyebutkan tidak lebih dari 10 (sepuluh) orang yang bisa bertindak sebagai pengayom semua golongan tanpa membeda-bedakan dan tanpa pamrih. Dalam ranah mikro, sering kali kita jumpai pribadi-pribadi kita yang juga masih sering membeda-bedakan sesama, melihat dan menilai hanya dengan fisik, mengukur pergaulan hanya dengan sikap senang terhadap materi, dan ada maunya.

Sikap pengayom merupakan inti dari penelusuran tangga kedewasaan seseorang. Karena entitas pengayom tidak dapat berdiri sendiri tanpa dilengkpai dengan seperangkat wawasan/keilmuan yang luas, sikap hati yang luas dan dalam, juga adanya sifat, sikap dan karakter pemaaf.

Sekali lagi kawan, kedewasaan tidak dapat diperoleh secara instan, apalagi dengan mengukurnya dengan bertambah-nya usia. Seperti yang kita simak dari paparan di atas, wawasan yang luas, hati yang luas dan dalam, pemaaf dan pengayom merupakan sikap yang membutuhkan proses panjang dan kemungkinan besar sangt berliku.

Bagaimana kita bisa memiliki wawasan yang luas, jika belajar saja dengan tanpa maksimal, membaca saja enggan, apalagi sinau dan lebih sering leha-leha?. Bagaimana kita bisa punya hati yang bersikap luas dan dalam jika hati kita tidak dilatih dengan kondisi spiritual (baca; ibadah) yang istiqomah, malah sering kali kita mengistiqomahkan nggosip lan cangkruk’an?. Bagaimana kita menjadi pemaaf, jika masih sering menyimpan dendam dan mencari-cari kesalahan sesama?. Dan bagaimana kita bisa menjadi pengayom kalau kita masih melanggengkan sikap pilih-kasih kepada sesama dan sering mendeskriditkan teman?

Sikap tuwo (dewasa) tidak akan muncul dalam jiwa kita, jika tidak kita latih mulai dari saat ini juga, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari diri sendiri. Karena kedewasaan juga membutuhkan media pelaksanaan yang ajeg. Sehingga nantinya dengan bertambahnya usia bertambah pula kedewasaan kita, yang pada akhirnya kita terbebas dari orang yang tuwas tuwo, tuwo tuwas!!! –


*Pernah dimuat di Buletin Ta'limiyah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar