RSS

MENULIS; Gampang atau susah?

“Menulis…? Susah banget!”

Setidaknya, kalimat itu selalu muncul di setiap penulis pemula. Itu pula yang sering saya dengar dari teman-teman ketika diminta untuk menuliskan sesuatu. Entah itu ketika di kampus, atau di mana saja.

Memang, banyak orang berasumsi bahwa menulis itu susah, terutama bagi mereka yang baru saja memulai dunia tulis-menulis. Mungkin ini pula yang menyebabkan negara kita kemiskinan penulis regenerasi. Terbukti hingga kini Indonesia belum memiliki “penulis dunia.” Hanya seorang Pramoedia Ananta Toer yang memeliki nama di Internasional. Namun, dia bukan penyair. Hanya seorang penulis roman sejarah, lantas kemana Indonesia yang diangung-agungkan ke-sastrawanannya? Yang katanya sudah lahir sejak beberapa abad lalu dengan beragam periodesasi?

Banyak hal yang membuat seseorang itu merasa tidak yakin dengan hasil karyanya, meski di antara mereka sebenarnya banyak tersimpan memori yang tak kalah menarik dengan penulis yang sudah jadi. Rasa percaya diri yang kurang mapan membuat mereka tidak yakin dengan diri sendiri dan hasil kerjanya. Akhirnya mereka berhenti sebelum mencoba. Mereka merasa tulisannya masih belum sempurna, malu dengan Penulis yang telah jadi.

Pada prinsipnya di dunia ini semuanya butuh proses. Tak ada kejadian tanpa melewati proses, entah proses itu yang kontinyu atau tidak. Hanya kekuasaan Tuhanlah yang tak memerlukan proses.

Rasa kurang percaya pada hasil cipta sendiri tadi menjerumuskan mereka pada menciplak karya orang lain, akhirnya predikat Plagiator pun tersandang di namanya. Memang tak salah ketika kita menyukai sebuah tulisan orang, gayanya bercerita, atau sebagainya. Namun itu hanya sebagai pemula buat meneruskan langkah berikutnya. Dan bukan menciplak sepenuhnya, hanya mencontoh gayanya. Itu hanya dijadikan buat mencari jati diri. Selanjutnya temukanlah orisinilitas dalam pribadi sendiri. Karena Plagiat itu “haram” hukumnya. Menciptakan orisinilitas pribadi dalam sebuah karya sangat sulit tergantikan di meja sastra.

Penyebab lain yang membuat kurangnya Penulis di daerah ini karena anggapan terhadap Media (Koran atau Majalah). Seringkali orang menjadikan Koran sebagai tolak ukur sebagai penentu layak tidaknya seseorang itu dikatakan Penulis. Anggapan dasar bahwa pabila tulisannya sudah dimuat di Koran, (sekurang-kurangnya koran lokal) barulah ia diakui sebagai penulis. Hal ini cenderung membuat orang pesimis terhadap hasil karya sendiri. Ketika hasil karyanya tidak dimuat, padahal sudah beberapa kali mengirim ke koran, ia merasa tidak pantas untuk jadi penulis. Dan akhirnya ia berhenti menulis. Pesimisme membuat ide tercampakan begitu saja.

Mengutip pendapat Idrus yang mengatakan “Banyak jalan menuju Roma,” saya merasa banyak jalan menjadi penulis. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan predikat Penulis itu. Misalkan saja dengan mempublikasikan hasil tulisan kita itu (apakah itu fiksi atau nonfiksi). Apakah di majalah dinding (mading) atau kepada teman. Lantas minta pendapat teman kita itu. Jangan takut dikritik. Jadikan kritikan itu sebagai movipasi untuk memperbaiki hasil karya kita itu ke depan. Sesekali minta pendapat guru, atau orang yang memang sudah ahli di bidang yang kita tulis itu, minta masukan darinya.

Semua bisa dilakukan dalam memulai dunia kepenulisan. Bisa berawal dari menulis buku Harian. Mencatat semua kejadian yang kita alami sehari-hari. Lalu tulisan-tulisan itu kita bukukan menjadi sebuah buku yang indah untuk dibaca. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami. Misalkan dengan menghindari kepuitisan ketika hanya menulis sebuah laporan perjalanan atau opini.

Kenyataannya banyak penulis besar ternama yang berawal dari buku Harian. Soe Hoggie misalnya yang mengawali kariernya sebagai penulis sekaligus membuat Film beranjak dari buku Harian (Memoar). Tentunya masih banyak lagi penulis lain yang beranjak dari memoar atau diary. Artinya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menjadi Penulis.

Kejadian-kejadian yang kita alami sehari-hari bisa dijadikan sebuah tulisan, tergantung kita mau menulisnya dalam bentuk apa. Misalkan kejadian tabrakan, pemboman, pencurian, korupsi, kebakaran, dan fenomena-fenomena alam lainnya, semua bisa kita tuliskan dalam bentuk apa saja. Sutardji Calzoum Bahri–presiden penyair Indonesia pernah berkata, menu masakan di Restoran pun dapat dijadikan puisi (kebetulan Tardji dan kawan-kawan waktu itu sedang berada di Restoran Taman Ismail Marzuki). Ketika itu Tardji meminta Simbolon untuk membacakan menu masakan mereka, maka mengalirlah tawa dan saling mengangguk bahwa betul lah apa yang baru saja dikatakan presiden Penyair itu. Namun demikian, tidak selamanya perkataan seorang Presiden itu betul seluruhnya, karena Presiden bukanlah Tuhan yang berfiman. Semuanya tergantung pada kita.

Sanggahan lain tentang menulis itu susah juga sudah diutarakan Arswendo Atmawiloto dalam bukunya yang diterbitkan 20 tahun silam. Arswendo mengatakan, “Mengarang itu gampang”. Jika Tidak percaya? Baca saja buku yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Jakarta 1984 lalu.

Pada prinsipnya untuk menjadi sesuatu itu butuh proses. Tidak mungkin seseorang langsung menjadi seorang Penulis jika tidak ia mulai dari mencoba dan mencoba. Inilah yang dikatakan proses. Hanya saja ada yang mengalami proses yang panjang dan ada yang langsung jadi. Pramoedia Anantatoer saja ketika mengawali karirnya di bidang menulis mendapat ejekan dari orang lain. Ketika itu Idrus pernah berkata pada Pram, “Kamu berak atau nulis?”. Namun Pram menjadikan ejekan itu sebagai motivasi dan ia malah menganggap Idrus sebagai guru yang membuatnya harus lebih optimis. Pramoedia menjadikan ejekan Idrus sebagai tantangan sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia ‘menulis’ bukan ‘berak’.

Jadi, disini saya mau mengatakan bahwa sesuatu itu harus penuh tantangan, sebab hidup ini sendiri adalah tantangan. Ketika tulisan kita tidak dihargai di suatu tempat maka mintalah penilaian ke tempat lain pula. Jika tidak dimuat dikoran pada pengiriman pertama, kedua, ketiga, kirimlah terus keselanjutnya hingga suatu ketika karya kita dimuat. Jangan pernah merasa bosan. Dan ketika dimuat pada kali pertama, janganlah pernah merasa cukup. Cobalah keselanjutnya terus. Karena dunia kepenulisan tak pernah berakhir. Jika ada masukan dan kritikan yang masuk, hargailah ia meski pedas. Sebab kebiasaanya sebuah kritikan bisa dijadikan pukulan untuk maju. Jadikan ia sebagai tantangan yang akan memotivasi kita untuk dapat membuktikan diri kita sendiri.

Sekali lagi saya katakan Koran bukan satu-satunya dinding yang harus kita tembus menjadi seorang Penulis. Seperti yang saya katakan, bisa mengawalinya di majalah dinding (mading), apakah itu madding sekolah/ kampus, madding pribadi, atau semacamnya. Atau cara lain bisa langsung bekerjasama dengan badan penerbit untuk menerbitkan buku hasil karya kita. Tentunya setelah penilaian tulisan itu layak terbit.

Pebanyakalah membaca karena banyak membaca kita jadi banyak tahu. Banyak tahu banyak pula yang akan kita jadikan dalam sebuah tulisan. Ibarat gelas kosong, ketika diisi air yang banyak ia akan meluah ke luar. Begitu juga dengan membaca, jika kita banyak membaca, semuanya padat di kepala, dengan sendirinya ia akan minta untuk ditumpahkan juga.

Maka mulailah dari dini, mulai menulis dan terus menulis, karena menulis merupakan kegiatan mengingat dan mengingatkan. Ingat senang dan ingat susah, mengingatkan diri sendiri dan mengingatkan orang lain. Mengingat yang telah pergi dan mengingat yang akan datang, juga bisa mengingatkan “peradaban pemerintah”.


*Oleh; Herman RN
http://lidahtinta.wordpress.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar