RSS

PESANTREN SEBAGAI MINIATUR KELUARGA

Kata keluarga memang sering sekali menyapa telinga kita, yaitu sebuah tatanan yang kadang terdiri dari orang tua dan anak atau mungkin dalam cakupan yang lebih lebar lagi dimana ada eyang, paman, dan lain sebagainya. Namun, tidak hanya berhenti sampai di sana karena tidak kalah sering juga kita jumpai istilah keluarga besar suatu pendidikan, misalnya. Lantas, apakah keduanya memang tepat memakai istilah keluarga? Perlu diketahui jika ternyata pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah dan sosial. Keduanya masih terbagi dalam definidi yang sempit dan luas.

A. Definisi Keluarga
Berdasarkan hubungan darah:
a. Extended family. Keluarga yang terdiri atas unsur yang lengkap. Dimulai dari Eyang sampai pada keturunan selanjutnya yaitu cicitnya cicit. Misalnya: keluarga besar Bani Ihsan.
b. Prokreasi. Keluarga yang hanya terdiri dari anggota inti, yaitu orang tua dan anak saja.
Berdasarkan suatu hubungan:
a. kesamaan latar belakang pendidikan, letak geografis, profesi, dan lainnya. Misal: Ikatan Dokter Gigi Indonesia.
b. masih ada hubungan darah dalam skala luas, yaitu marga.

B. Lahir dan Alasan Terbentuknya Keluarga

Keluarga terdiri atas beberapa orang yang hidup bersama untuk jangka waktu yang lama. Adapun latar belakang pembentukannya akibat adanya rasa keseikatan dan kebersamaan yang menimbulkan kerelaan untuk menerima anggota apa adanya sekaligus beradaptasi dengannya. Hubungan tersebut tidak akan terbina jika tidak didasari oleh kasih sayang. Menurut Barber alasan pembentukan keluarga didasari oleh “desire of recognition and response” yaitu keinginan untuk mendapatkan sambutan dan penghargaan, meliputi keinginan untuk hidup bersama dan terjalin hubungan take and give sehingga muncullah ketenteraman lahir dan batin.

C. Fungsi Keluarga

Fungsi dari keluarga bermacam-macam. Kita bisa membedakannya, tetapi tidak bisa memisahkannya. Dan yang terpenting adalah tidak ada fungsi yang lebih utama karena fungsi tersebut tergantung pada kebutuhan untuk mencapai keutuhan dan kelancaran kehidupan. Adapun fungsi tersebut adalah; fungsi edukasi (pendidikan dan pembinaan), proteksi (perlindungan dari penyimpangan norma), sosialisasi (pendampungan dalam kehidupan bermasyarakat), afeksi (menumbuhkan rasa empati), religius (kesadaran akan kewajiban terhadap Tuhan), ekonomis (efektivitas dan efisiensi harta umtuk kemaslahatan keluarga, rekreasi (kondisi damai dan terlepas dari ketegangan dan kepenatan), dan biologis (terpenuhi kebutuhan jasmani, misal: makan).

D. Lini Keluarga

Sebagaimana artikel yang dilansir oleh Waka. Pondok putri pada edisi beberapa minggu lalu mengenai definisi keluarga harmonis. Penulis menanggapi bahwa definisi tersebut sangat tepat. Why? Keluarga harmonis adalah keluarga yang didalamnya terdapat unsur sinergitas pada seluruh elemen pembentuknya, yaitu orang tua dan putra-putrinya.

Unsur sinergitas meliputi lini yang bersifat vertikal dan horizontal. Lini vertikal terdiri atas orang tua dan anak. Termasuk di dalamnya berisi tata cara bersikap antara orang tua dengan anak. Hal tersebut teraktualisasi dalam tertatanya iklim kasih sayang yang bertujuan memberikan beberapa dampak pada anak yang akhirnya akan mendatangkan feedback untuk orang tua.


Lini horizontal yaitu lini yang sama statusnya, baik pada lini ibu dengan bapak sebagai orang tua atau adik dengan kakak yang menempati lini anak dalam keluarga. Lantas, bagaimana bersikap pada lini ini? Jawabnya adalah wajib ditumbuhkembangkannya sikap saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Dalam posisi ini masalah yang rentan adalah mengenai keadilan dalam pemenuhan hak. Adil bukan berarti sama rata atau digebyah uyah, akan tetapi pemenuhan hak berbanding lurus dengan kewajiban yang diemban seseorang. Seperti halnya pekerjaan rumah, mungkin adik diberi sedikit tugas berupa membersihkan halaman rumah sedang kakak bertugas lebih dari sekedar bebersih sampai tersedianya makanan di meja makan. Pemberian tugas tersebut tidak lain bertujuan untuk memeberikan pembelajaran tentang tanggung jawab. Di sisi lain, kakak mendapat uang saku yang lebih banyak dari adik dikarenakan tanggung jawab dunia pendidikannya lebih memerlukan banyak uang untuk mengerjakan tugas, misal.


E. Pesantren Sebagai Miniatur Keluarga

Jika kita tengok struktur pesantren kita ini, maka jelas sudah elemen pembentuknya, yaitu terdiri atas pengasuh yang merupakan orang tua dan pengurus sebagai kakak dari elemen yang diurus (grass root). Hubungan antara pengasuh dengan santri berpola vertikal dan hubungan pengurus dengan elemen di bawahnya berpola horizontal (mengingat status pengurus dan yang diurus adalah sama-sama santri). Dengan demikian apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dalam kedua pola tersebut harus benar-benar dijaga keseimbangannya.

Pada pola horizontal khususnya, segala yang menjadi hak santri (mendapatkan jaminan keamanan, fasilitas yang layak, kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi, dan lainnya) semaksimal mungkin mendapatkan jaminan pengembangan. Hal tersebut telah terbukti dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan yang telah dijalankan oleh masing-masing biro dalm kepengurusan. Misalnya, Biro Jam’iyah yang bertugas mempersiapkan output pesantren yang siap terjun di masyarakat melalui kegiatan muhadloroh yang didalamnya terdapat unsur pelatihan MC, Qori’, Sari Tilawah, Da’i, dan Kreasi Seni, lalu Biro H&I dengan kegiatan pelatihan Pembuatan Karya Tulis, dan beberapa kegitan biro lainnya. Akan tetapi jangan pernah lupa untuk memenuhi kewajiban sebelum mendapatkan hak.


Kewajiban santri diantaranya; pertama membayar syahriah. Karena dengan disiplin membayar syahriah semua kegiatan berjalan lancar; neon yang rusak dapat segera diganti atau atap bocor dapat segera dibenahi agar tidur dan belajar tidak lagi terganggu.


Kedua, mematuhi peraturan. Adanya aturan akibat pelanggaran. Jika kita flashback ke era 1997-an maka aturannya jauh berbeda denga kondisi saat ini. Dulu lokal sekolah antara putra-putri terpisah dan begitu ditemukan santri putra-putri berbincang-bincang, konsekuensinya adalah ta’ziran. So, jangan pernah berfikir bahwa aturan hari ini terlalu ketat. Tidak ketat bukan berarti longgar untuk dimanfaatkan lho! Dan semua yang berada dalam struktur keluarga pesantren-tanpa terkecuali, terikat dengan aturan tersebut.


Satu lagi kewajiban santri yang terpenting adalah menjaga kewibawaan diri sebagai santri. Kuncinya terletak pada akhlak, baik akhlak sewaktu berproses (ketika nyantri) ataupun pasca proses (setelah nyantri). Ketika berproses, santri harus bisa memilih sikap yang tepat kepada teman sejawat, kakaknya ataupun kepada dewan asatidz. Contoh kecil akhlaq kepada teman sejawat; mandi. Dimana untuk menghindari ghibah sebisa mungkin santri harus mampu merawat kebersihan diri dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap diri sendiri, sekaligus pemenuhan kewajiban terhadap teman sejawat untuk menumpas habis bahaya pencemaran udara akibat BB (Bau Badan) dan penyakit kulit seperti gudik dan panu. Selevel di atasnya, yaitu akhlaq terhadap kakak seperguruan (pengurus). Santri memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, namun bebas disini tidak bebarti kebablasan. Ketika santri merasa tidak nyaman dengan suatu kebijakan, maka sebaiknya dikomunikasikan dengan memberikan saran aspiratif dan juga menggunakan bahasa yang baik melalui kotak saran yang telah disediakan atau bisa jadi melalui road show (forum komunikasi pengurus-grassroot secara langsung). Mengingat pengurus adalah santri yang kebetulan mendapat mandat memegang amanah, dalam perjalannanya mungkin terdapat kelalaian. Maka, wajar kalau pengurus mendapat suntikan imunisasi dari grass root. Semisal ketika berkembang suatu isu yang merusak reputasi pesantren, jangan serta-merta mempercayainya. Coba cari informasi dari beberapa sumber yang akurat demi memperoleh kebenaran. Seperti yang difirmankan Allah: “Idzaa jaakum faasiqun bi nabain fatabayyanu”. Lha kalau maunya hanya disanjung saja padahal kinerja tidak memuaskan dan perilaku tidak layak, ini yang dinamakan “Ghaayaatul Junuun” yaitu penyakit tidak sadar diri stadium IV. Oleh karena itu marilah kita saling saling menghormati hak dan kewajiban, menjauhkan diri dari penyakit hati dan menjalin kasih sayang yang lekat dalam rangka menciptakan iklim keluarga harmonis. Coba bayangkan; seandainya kita saling bertutur kata sopan (berbahasa Jawa Krama) pada siapapun juga, berapa banyak yang melirik dan antri di belakang kita? Kita tidak akan kehabisan referensi, guy-girl! Begitu juga ketika kita berbicara dengan orang tua, pasti uang saku kita semakin tebal karena beliau merasa sukses mencetak putra-putri yang shalih/ah. Ingat: ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana!” dan semoga kita menjadi dambaan sejuta ummat. Amin!
________________________
- Rika Hernawati, S.Sos -
(Sekretaris PP.Ngalah Putri, Purwosari Pasuruan)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar