RSS

TELEVISI DAN PARADIGMA KEKERASAN

“Kekerasan pada akhirnya menjadi sebuah budaya (budaya kekerasan), sebuah cara hidup (way of Life), sebuah gaya hidup (life style) sebuah cara masyarakat kita memberi makna pada kehidupannya…” (Yasraf Amir Piliang ; Sebuah Dunia Yang Dilipat; 2001)


Belum sembuh kemirisan hati kita ketika menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang melalukan protes terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM didalam negeri dalam tragedi UNAS. Dimana tindakan kekerasan aparat keamanan dipicu oleh tindakan-tindakan anarkis mahasiswa dalam melakukan tuntutan. Tindakan kekerasan dua belah pihak yang berujung pada kerugian baik moril maupun materil yang tidak sedikit yang pada akhirnya merusak citra aparat keamanan dan juga merusak citra mahasiswa yang merupakan ujung tombak penyampai aspirasi masyarakat.

Mahasiswa merasa mereka dalam koridor yang benar, perjuangan mereka adalahperjuangan rakyat dan barangsiapa yan g melawan keinginan rakyat berarti melawan kebenaran. Maka dengan pikiran ini mahasiswa merasa berhak untuk melakukan kekerasan terhadap aparat keamanan yang dianggap tidak membela rakyat.

Sementara aparat keamanan merasa sebagai satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk melakukan tindakan keamanan dalam bentuk pembubaran, penangkapan, pemukulan dan penembakan terhadap siapa saja yang mengancam keamanan negara. Sehingga merasak wajar dan wajib melumpuhkan mahasiswa apapun caranya demi keamanan negara. Inilah kekerasan negara terhadap masyarakat ataupun kekerasan masyarakat terhadap negara (Konflik Vertikal)

Kemudian kita dipertontonkan tindakan-tindakan anarkis kaum beragama dengan atas nama agama melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat. Agama seharusnya ditafsirkan dalam bentuk prilaku yang membawa rahmat bagi kehidupan manusia justru ditafsirkan dengan wajah garang, ganas dan brutal oleh pemeluknya yang mengklaim dirinya beriman. Atas nama agama, kekerasan menjadi menjadi hal yang halal dan wajib dilakukan kepada orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dan dianggap menodai kesucian agama. Atas nama kebenaran, orang tua, wanita dan anak-anak pun boleh mendapatkan balasan kekerasan karena telah berpendapat berbeda.

Klaim kebenaran masing-masing kelompok telah mengantarkan masyarakat pada Paradigma Oposisi Biner, kita dan mereka, dimana jika kita benar maka mereka salah, jika kita suci maka maka mereka ternodai, jika kita lurus maka mereka tersesat. Paradigma ini kemudian dilanjutkan dengan paradigma yang oleh Charles Kimbal dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana disebut dengan Paradigma Perang Suci. Paradigma yang membenarkan kekerasan terhadap kaum yang dianggap salah, tersesat dan menodai kebenaran agama.

Akhirnya citra penebar rahmat yang seharusnya disandang oleh kaum beragama justru menjadi penebar kekerasan dan kebencian. Seharusnya penebar kasih sayang dan cinta justru menjadi penebar teror dan ketakutan pada masyarakat. Dan ini semakin menguatkan pendapat kaum anti agama yang terus mengkampanyekan bahwa agama salah satu sumber konflik dan kekeran seperti yang dilakukan oleh Geert Wilders dengan film Fitnanya. Inilah kekerasan antar masyarakat (Konflik Horizontal), entah disengaja atau tidak, kekerasan sangat merugikan.

Dan beberapa hari terakhir, kita kembali dipertontonkan oleh media tindakan kekerasan oleh sebuah geng terhadap calon anggotanya dan lebih mencengangkan lagi geng tersebut adalah geng perempuan. Perempuan yang selama ini diyakini memiliki fitra kelembutan, kehalusan serta mendahulukan perasaan ternyata juga memiliki potensi kekerasan yang tidak kalah dengan pria yang selalu dianggap perkasa. Perempuan yang seharusnya berlatih untuk menjadi ibu bagi keluarga, bagi masyarakat bahkan bagi negara justru terjebak dalam lingkaran kekerasan.

Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di negeri ini, tanpa ada satu kekuatanpun yang mampu menahan atau menolaknya. Hari ini kita menjadi penonton adegan kekerasan tersebut tapi bisa jadi satu saat kita akan menjadi aktor dalam kekerasan tersebut, entah menjadi pelaku kekerasan atau korban kekerasan. Apa yang terjadi dengan negeri ini ? apa sesungguhnya yang telah memproduksi kekerasan dalam budaya kita ?

Melacak penyebab maraknya tindakan kekerasan di negeri ini, kita dapat berangkat dari teori konstruksi sosial Berger & Luckman, dimana setiap perilaku dalam kehidupan sosial sesungguhnya dimulai dari paradigma (cara pikir) pelakunya, artinya sesungguhnya prilaku dibentuk oleh cara pikir. Maka jika prilaku kekerasan telah menjadi budaya dalam masyarakat dapat dipastikan bahwa terjadi proses sosialisasi paradigma kekerasan pada masyarakat tersebut disadari atau tidak.

Marilah kita melihat pada masyarakat kita yang akhir-akhir ini begitu dekat dengan kekerasan. Dimana kita lacak proses sosialisasi paradigma kekerasan itu ? Pertama kita lacak pada kehidupan sehari-hari kita, prilaku apa yang sering kita dapatkan atau tonton dalam kehidupan sehari-hari ? Hidup kita banyak tersita oleh TV. Lalu apa yang ditawarkan oleh TV kepada kita ?

Untuk balita, TV menawarkan film kartun, tapi cobalah cermati kartun-kartun itu, hampir semuanya berisi adegan kekerasan yang dikemas sedemikian rupa sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang lucu. Sehingga bagi balita kekeran itu lucu dan menyenangkan.

Untuk anak-anak, TV menawarkan film-film anak-anak yang dikemas dalam cerita kepahlawanan sebutlah film Power Ranger dan film lain yang sejenisnya, dimana kepahlawanan selalu harus mengalahkan musuhnya dengan pertarungan dan diakhiri dengan kematian atau musnahnya musuh.

Sementara untuk remaja dan orang dewasa, TV menawarkan setiap hari adegan-adegan kekerasan, entah itu lewat sebuah film atau lewat kemasan berita. Kekerasan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk memenangkan kebenaran. Pembunuhan dan pembasmian terhadap tokoh-tokoh jahat adalah keharusan untuk mendapatkan akhirnya yang baik. Artinya happy ending sebuah cerita harusnya dengan kematian atau musnahnya pelaku kejahatan apapun kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan olehnya.

Inilah yang tiap hari kita konsumsi yang kemudian memenuhi diri kita dengan paradigma kekerasan (dimana kejahatan harus dibasmi dan pelaku kejahatan harus dibunuh). Paradigma ini telah menjadi potensi kekerasan dalam diri kita, sebagian telah mengatualisasikannya sebagian masih menunggu aktualisasinya, entah kapan.

Semoga kita sadar atas potensi tersebut dan cepat-cepat membunuhnya sehingga tindak kekerasan yang merusak dinegeri ini bisa diminimalisir.


Oleh : Nanang Wijaya
http://pasulukan.wordpress.com/2010/10/31/televisi-dan-paradigma-kekerasan/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar