WASWAS, kekhawatiran dan kekalutan yang dialami para siswa menjelang penyelenggaraan UN muncul karena kebijakan pendidikan yang berlaku saat ini memang mengharuskan siswa sekolah/madrasah mengikuti ujian seragam tersebut.
Pada 2005 beberapa orangtua, murid, guru, dan pemerhati pendidikan menyadari bahwa UN menimbulkan kecemasan dan ketidakberdayaan. Mereka kemudian menggugat bahwa penyelenggaraan UN melanggar hak asasi anak. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu mengabulkan gugatan ini.
Pemerintah justru naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan terakhir mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasasi ini pun ditolak Mahkamah Agung pada September 2009.
Namun, tahun 2010 Menteri Pendidikan Nasional tetap menyelenggarakan UN, bahkan mempertinggi tensi kecemasan dengan berbagai upaya melibatkan polisi sebagai pengawas dan para pejabat tinggi serta kepala dinas pendidikan wilayah menandatangani akta kejujuran. Janji akan berbuat jujur ini adalah bukti ketidakpahaman para pejabat pendidikan terhadap keputusan Mahkamah Agung.
Setiap tahun upaya yang dilakukan hanya mengantisipasi ancaman terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan. Namun, ragam antisipasi tersebut justru dirasakan sebagai ancaman yang mempertinggi kecemasan.
UN adalah pelaksanaan dari Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”
Paling tidak kita dapat menyoroti kelemahan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dalam tiga hal: Melanggar HAM, Cacat Hukum dan Tidak Profesional.
1. Melanggar HAM
Sesungguhnya pada 2005 beberapa orangtua, murid, guru, dan pemerhati pendidikan yang menyadari bahwa UN menimbulkan kecemasan dan ketidakberdayaan telah mengadu ke pengadilan negeri. Mereka menggugat bahwa penyelenggaraan UN melanggar hak asasi anak. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan ini. Pemerintah justru naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan terakhir mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasasi ini pun ditolak Mahkamah Agung pada September 2009. Jadi sangat jelas sekali bahwa UN melanggar HAM khususnya hak-hak asasi anak. Ironisnya sang penguasa yang seharusnya memerhatikan keputusan hukum ini malah melakukan preseden buruk di dunia pendidikan. Sudah melanggara HAM cacat hukum pula UN ini.
2. Cacat Hukum
Dari paparan di atas jelas sekali bahwa UN ini telah melanggar HAM anak dan cacat hukum. Namun, tahun 2010 Menteri Pendidikan Nasional tetap menyelenggarakan UN, bahkan mempertinggi tensi kecemasan dengan berbagai upaya melibatkan polisi sebagai pengawas dan para pejabat tinggi serta kepala dinas pendidikan wilayah menandatangani akta kejujuran. Janji akan berbuat jujur ini adalah bukti ketidakpahaman para pejabat pendidikan terhadap keputusan Mahkamah Agung.
Bagaimana negara ini akan tumbuh dan berkembang dengan baik jikalau pemegang amanah pengelolaan negara ini melakukan perbuatan yang tidak taat asas dan tidak patuh hukum. Pantaslah karut marut hukum di negara ini tak kunjung usai karena para elitenya dengan sangat mudah menabrak rambu-rambu hukum dan tidak etis. Tidak perlu seorang ahli hukum mengatakan UN cacat hukum karena sudah terang benderang UN bermasalah secara hukum tetapi toh tetap saja sang penguasa bertindak "otoriter" memaksakan kehendak demi berjalannya pernecanaan yang telah mereka buat berikut anggaran proyeknya walau hal ini melanggara tatanan hukun dan kepantasan yang seharusnya dijunjung tinggi para elite apalagi di dunia pendidikan. Alamat miskinnya contoh teladan dari sang elite.
Keputusan Mahkamah Agung tidak menyalahkan timbulnya kecurangan dalam UN, tetapi menunjukkan bahwa UN adalah praktik yang melanggar hak asasi anak, yaitu rasa aman. Seharusnya yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional bukan mencegah kecurangan dengan mengerahkan polisi dan janji para pejabat, melainkan menghapuskan kecemasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan yang tidak hanya dirasakan siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah.
3. Tidak Profesional
Jika kita menanyakan para pakar pendidikan maka sebagian besar dari mereka pasti mengatakan bahwa secara akademik ilmu pendidikan UN yang dilakukan ini tidaklah mengukur sesungguhnya kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki peserta didik (siswa). UN ini sangat rendah tingkatannya untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah berhasil menghasilkan insan cerdas yang berakhlak mulia sebagaimana diamanahkan UUD 45. Masih sangat jauh!
Lantas kenapa pemerintah "sok tahu" bahwa UN sangat penting hingga dibela-bela diselenggarakan setiap tahun walau melanggar dan cacat hukum serta tidak didukung secara ilmiah? Jawabannya berpulang kepada "nafsu" penguasa yang sering jauh dari rasionalitas karena cenderung ingin memperoleh hasil instan di dunia pendidikan dengan berharap prosentase kelulusan siswa naik dari tahun ke tahun dan angka minimal kelulusan pun naik dari masa ke masa.
UN dianggap segala-galanya dan segala-galanya perlu UN. Ini pandangan keliru dari sang pemangku kepentingan pendidikan.
Lebih jauh lagi kalau kita tengok UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 58 Ayat (1) adalah pasal yang mengatur evaluasi hasil belajar peserta didik, bukan "penilaian akhir penyelesaian jenjang pendidikan".
Di sana tertuang, "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan."
Jadi, kebijakan UN sebagai keputusan Mendiknas tidak mempunyai dasar hukum dan bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung sehingga cacat hukum, melanggar HAM dan tentu tidak profesional karena ditentang secara akedemik ilmu pendidikan.
Hari-hari ini dipertontonkan betapa penyelenggaraan UN telah membuat situasi terasa tegang dan tidak nyaman. Ketegangan, kecemasam menghantui banyak pihak tidak hanya bagi peserta didik (siswa) orang tua, guru dan kepala sekolah tetapi juga Kepala Daerah.
Kenapa demikian? Karena hasil UN juga dianggap sebagai hasil kemajuan daerah di bidang pendidikan. Sehingga UN seolah sebagai suatu gengsi, martabat, prestise daerah di era otonomi sekarang ini.
Jadi, tidak hanya Kepala Sekolah yang terdengar menginstruksikan para guru berupaya maksimal "menghalalkan segala cara" tetapi Kepala Daerah juga ikut "mengatur" kepala sekolah agar sekolahnya berhasil meluluskan sebanyak-banyak siswa.
*oleh: Aries Musnandar
http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/1599
0 komentar:
Posting Komentar