Dalam pengajian Malam Jum’at Kliwon, Sufi tua menemukan seorang penyusup di antara jama’ah pengajian. Usai pengajian, penyusup itu digiring ke teras mushola, diajak bergabung diskusi dengan Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi Gelandangan, Sufi Gemblung, dan Dullah yang lagi membincang NII dan teroris. Penyusup itu bingung mengikuti alur pembicaraan para sufi yang ternyata sangat faham dengan dunia intelijen, termasuk skenario-2 intelijen tingkat tinggi yang tak sembarang orang mengetahuinya. Bahkan penyusup itu pucat wajahnya saat mengetahui bahwa Sufi tua sejatinya adalah seorang tokoh senior yang terkenal di dunia intelijen yang sudah pensiun satu dasawarsa silam.
Faham bahwa sang penyusup sudah mati kutu, Sufi tua dengan sikap seorang senior kepada yuniornya menanyakan latar bagaimana sang penyusup itu masuk ke pesulukan, pesantren sufi, yang sama sekali tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-2 garis keras yang selama ini meresahkan masyarakat. Sang penyusup dengan polos menyatakan, bahwa pesantren memang menjadi salah satu institusi yang dicurigai berpotensi menjadi center power bagi munculnya gerakan-gerakan ekstrim-radikal yang membahayakan negara dan masyarakat. “Fakta menunjuk bahwa gerakan-2 ekstrim-radikal yang melancarkan teror selalu berhubungan dengan Pesantren Ngeruki Hati di Surakerta pimpinan Kyai Haji Abu Ba’afkir,” kata si penyusup menjelaskan.
“Saudara ini ada saja, pesantren kok ngeruki hati. Hatinya siapa yang dikeruk? Tapi, logika yang sampeyan pakai ltu logika sesat. Logika sesat kok dipakai pijakan berpikir,” sahut Sufi tua geleng-geleng kepala, ”Kalau logika sesat itu diteruskan, deviasi penyimpangannya akan semakin lebar.”
“Mohon petunjuk, bapak,” kata si penyusup ingin tahu.
“Kalau di sebuah kota ada seorang warga kota melakukan kejahatan mencuri, apakah patut dicurigai bahwa setiap rumah di kota potensial berisi maling?” Sufi tua bertanya balik.
“Tentu tidak, bapak,” kata si penyusup tegas.
“Lalu, term-term logika apa yang digunakan ketika menyama-ratakan pesantren yang ada di Nusantara dengan satu pesantren aneh bin ajaib yang tumbuh dan berkembang sangat ajaib, yaitu Pesantren Ngeruki Hati, yang justru berbeda dalam segala hal dengan pesantren-pesantren yang ada di bumi Nusantara?” tanya Sufi tua dengan suara ditekan tinggi.
“Saya tidak tahu, bapak. Apakah beda pesantrennya Kyayi Abu dengan pesantren-pesantren lain?”
"Justru akibat ketidak-tahuan perbedaan pesantren aneh bin ajaibnya orang Arab badui itu dengan pesantren-pesantren yang ada di Nusantara itulah yang aku katakan bahwa tugasmu mengawasi dan memantau pesantren-pesantren itu didasari logika sesat. Kalau menggunakan teori ilmu logika, cara pikir semacam itu disebut fallacy of illicit process dan argumen yang digunakan disebut Argumentum ad ignorantiam. Sebab tanpa didukung pengetahuan yang utuh tentang term pesantren Nusantara, secara coersif sudah diambil sebuah konklusi tentang pesantren dengan term pesantren gurun pasir yang sama sekali lain dan tidak memiliki ciri-ciri yang khas Nusantara. Bagaimana seekor tikus gurun disamakan dengan kawanan kucing Angora?” kata Sufi tua memaparkan alasan.
“Mohon petunjuk, bapak, apa beda pesantren Ngeruki Hati dengan pesantren-pesantren di Nusantara?” tanya si penyusup sangat ingin tahu.
Sufi tua diam. Sejenak setelah itu, ia berbisik kepada Sufi Sudrun. Dan setelah mengangguk, Sufi Sudrun mulai berkata menjelaskan,“Ketahuilah saudara, bahwa pesantren-pesantren Nusantara adalah lembaga pendidikan yang berkembang dari lembaga pendidikan Hindu-buddha yang disebut Dukuh, tempat para wiku (calon pendeta) belajar. Salah satu kegiatan para wiku sebagai siswa di Dukuh adalah mempelajari sashtra (kitab suci). Orang-orang yang mempelajari sashtra (kitab suci) disebut sashtri (yang mempelajari sashtra -kitab suci). Nah, saat ajaran Islam butuh dikembangkan lewat pendidikan, para penyebar Islam berinisiatif untuk mengambil alih model Dukuh Hindu-buddha. Tetapi karena para siswa muslim bukan pendeta, maka mereka tidak disebut wiku melainkan disebut sashtri (orang yang mempelajari sashtra-kitab suci). Demikianlah, kata Sansekerta Sashtri dilafalkan dalam lidah muslim Jawa menjadi Santri. Itulah latar sejarah mengapa lembaga pendidikan Islam tradisional disebut pesantren, yang bermakna tempat para santri (pe-santri-an).”
“Waduh bapak, sungguh saya tidak tahu-menahu soal itu,” kata si penyusup mengangguk-anggukkan kepala dan mendecakkan mulut.
“Nah, dengan penjelasanku ini,” kata Sufi Sudrun,” Masuk akalkah menurut saudara, jika ada orang-orang Arab Badui berfaham Wahabi yang anti bid’ah, anti khurafat, anti dengan berbagai unsur jahiliyyah dari agama selain Islam, tiba-tiba mendirikan lembaga pendidikan pesantren? Bagaimana aneh bin ajaibnya ini, ada orang berfaham Wahabi tiba-tiba mengembangkan lembaga pendidikan dengan memungut sisa-sisa Hindu-buddha yang mereka anggap lembaga sisa jahiliyyah?”
”Tapi pimpinan pesantrennya memakai gelar Kyayi, bagaimana itu bapak?” tanya si penyusup.
“Itu juga mustahil bin mustahal,” tukas Sufi Sudrun menjelaskan,”Soalnya, gelar Kyayi adalah gelar kebangsawanan pra Majapahit yang setara dengan gusti. Hanya kalangan brahmana-ksatria, yang berhak menggunakan gelar Kyayi. Asal saudara tahu, keturunan Arya Damar Adipati Palembang di Bali – dari puteranya yang bernama Arya Jasan – lahir raja-raja Tabanan bergelar kyayi seperti Kyayi Arya Ngurah Sari, Kyayi Arya Celuk, Kyayi Agung Made Tabanan, dsb. Para raja itu beragama Hindu”
“Oo begitu ya bapak..?”
“Ini kan aneh, ada orang Arab Badui berfaham Wahabi tahu-tahu memakai gelar kebangsawanan Majapahit, Kyayi, yang jelas-jelas gelar itu mereka anggap sebagai simbol jahiliyyah dari masa kerajaan kafir Majapahit. Ini benar-benar mustahil bin mustahal,” kata Sufi Sudrun ketawa.
“Jadi simpulan dari penjelasan bapak itu bagaimana?” tanya si penyusuf minta penegasan.
“Menurut hematku, itu pesantren palsu dan gelar kyayi-nya juga palsu, karena sepanjang sejarah tidak pernah ada pesantren berfaham Wahabi. Sepanjang sejarah, Wahabi juga menganggap haram mengambil alih anasir-anasir Hindu-buddha. Bahkan setahuku, belum ada juga orang Arab badui memakai gelar kebangsawanan Jawa kuno, Kyayi. Dari mana nalar lojik semua itu?” kata Sufi Sudrun.
“Maaf bapak,” kata si penyusup kepada Sufi tua,”Kira-kira kordinat pesantren Wan Abu itu ke mana ya?” tanyanya tidak lagi menyebut gelar kyai di depan nama Abu Ba’afkir.
“Kalau hubungannya dengan Osama bin Ladn,” kata Sufi tua singkat,”Aku pikir semua intelijen sedunia sudah mafhum, ke mana koordinat Wan Abu itu.”
Dullah yang sejak tadi menyimak tiba-tiba bertanya,”Mohon tanya mbah.”
“Soal apa?” gumam Sufi tua.
“Apakah Wan Abud kordinatnya nyambung dengan gerakan NII?” tanya Dullah.
“Kalau NII itu lain lagi kordinatnya,” kata Sufi tua seperti menahan geli.
“Kira-kira NII itu ke mana jalurnya?” tanya Dullah penasaran.
“Itu kerjaan jaringan intelijen lokal, kelanjutan dari OPSUS dulu, jamannya Orde Baru eranya Ali Murtopo dan L.B.Murdani,” kata Sufi tua mengingat-ingat.
“Woo begitu yaa…” sahut Dullah melenggong.
“Iya, itu angkatannya Panji Cemerlang, arek Sedayu, Gresik yang dibikinkan pesantren As-Syaithon di Dermayu. Panji itu seangkatan dengan Supirto, mantan menteri yang bikin Partai Kesejahteraan Sosial. Jaringan-jaringan bekas OPSUS itu, masih eksis dan operasional, mengiringi perjalanan sejarah bangsa kita,” kata Sufi tua..-faith acccomply
“Berarti mereka itu tidak bahaya kan, bapak?” tukas si penyusup
Demi keamanan dan keselamatan aset-aset kapitalisme global.”rust en orde berkuasa untuk menegakkan ruling class – yang dikendalikan kapitalisme global. Sebab dalam open society tak lagi dibutuhkan demokrasi, tetapi butuh open society. Sufi tua ketawa, lalu berkata,”Ya untuk negara tidak berbahaya. Tapi untuk rakyat, masih harus dikaji ulang, terutama jika dikaitkan dengan geopolitik perubahan tatanan global –
“Hwaduuuh, jadi semua itu kayaknya palsu.” sahut Dullah garuk-garuk kepala,”Ini kayaknya ada hubungannya dengan RUU Intelijen yang harus disahkan jadi UU, mbah, karena sekarang ini negara dikesankan sudah dalam keadaan “siaga” dan bahkan mungkin sebentar lagi “awas”.
Sufi tua dan Sufi Sudrun ketawa. Si penyusup tersenyum kecut.
Faham bahwa sang penyusup sudah mati kutu, Sufi tua dengan sikap seorang senior kepada yuniornya menanyakan latar bagaimana sang penyusup itu masuk ke pesulukan, pesantren sufi, yang sama sekali tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-2 garis keras yang selama ini meresahkan masyarakat. Sang penyusup dengan polos menyatakan, bahwa pesantren memang menjadi salah satu institusi yang dicurigai berpotensi menjadi center power bagi munculnya gerakan-gerakan ekstrim-radikal yang membahayakan negara dan masyarakat. “Fakta menunjuk bahwa gerakan-2 ekstrim-radikal yang melancarkan teror selalu berhubungan dengan Pesantren Ngeruki Hati di Surakerta pimpinan Kyai Haji Abu Ba’afkir,” kata si penyusup menjelaskan.
“Saudara ini ada saja, pesantren kok ngeruki hati. Hatinya siapa yang dikeruk? Tapi, logika yang sampeyan pakai ltu logika sesat. Logika sesat kok dipakai pijakan berpikir,” sahut Sufi tua geleng-geleng kepala, ”Kalau logika sesat itu diteruskan, deviasi penyimpangannya akan semakin lebar.”
“Mohon petunjuk, bapak,” kata si penyusup ingin tahu.
“Kalau di sebuah kota ada seorang warga kota melakukan kejahatan mencuri, apakah patut dicurigai bahwa setiap rumah di kota potensial berisi maling?” Sufi tua bertanya balik.
“Tentu tidak, bapak,” kata si penyusup tegas.
“Lalu, term-term logika apa yang digunakan ketika menyama-ratakan pesantren yang ada di Nusantara dengan satu pesantren aneh bin ajaib yang tumbuh dan berkembang sangat ajaib, yaitu Pesantren Ngeruki Hati, yang justru berbeda dalam segala hal dengan pesantren-pesantren yang ada di bumi Nusantara?” tanya Sufi tua dengan suara ditekan tinggi.
“Saya tidak tahu, bapak. Apakah beda pesantrennya Kyayi Abu dengan pesantren-pesantren lain?”
"Justru akibat ketidak-tahuan perbedaan pesantren aneh bin ajaibnya orang Arab badui itu dengan pesantren-pesantren yang ada di Nusantara itulah yang aku katakan bahwa tugasmu mengawasi dan memantau pesantren-pesantren itu didasari logika sesat. Kalau menggunakan teori ilmu logika, cara pikir semacam itu disebut fallacy of illicit process dan argumen yang digunakan disebut Argumentum ad ignorantiam. Sebab tanpa didukung pengetahuan yang utuh tentang term pesantren Nusantara, secara coersif sudah diambil sebuah konklusi tentang pesantren dengan term pesantren gurun pasir yang sama sekali lain dan tidak memiliki ciri-ciri yang khas Nusantara. Bagaimana seekor tikus gurun disamakan dengan kawanan kucing Angora?” kata Sufi tua memaparkan alasan.
“Mohon petunjuk, bapak, apa beda pesantren Ngeruki Hati dengan pesantren-pesantren di Nusantara?” tanya si penyusup sangat ingin tahu.
Sufi tua diam. Sejenak setelah itu, ia berbisik kepada Sufi Sudrun. Dan setelah mengangguk, Sufi Sudrun mulai berkata menjelaskan,“Ketahuilah saudara, bahwa pesantren-pesantren Nusantara adalah lembaga pendidikan yang berkembang dari lembaga pendidikan Hindu-buddha yang disebut Dukuh, tempat para wiku (calon pendeta) belajar. Salah satu kegiatan para wiku sebagai siswa di Dukuh adalah mempelajari sashtra (kitab suci). Orang-orang yang mempelajari sashtra (kitab suci) disebut sashtri (yang mempelajari sashtra -kitab suci). Nah, saat ajaran Islam butuh dikembangkan lewat pendidikan, para penyebar Islam berinisiatif untuk mengambil alih model Dukuh Hindu-buddha. Tetapi karena para siswa muslim bukan pendeta, maka mereka tidak disebut wiku melainkan disebut sashtri (orang yang mempelajari sashtra-kitab suci). Demikianlah, kata Sansekerta Sashtri dilafalkan dalam lidah muslim Jawa menjadi Santri. Itulah latar sejarah mengapa lembaga pendidikan Islam tradisional disebut pesantren, yang bermakna tempat para santri (pe-santri-an).”
“Waduh bapak, sungguh saya tidak tahu-menahu soal itu,” kata si penyusup mengangguk-anggukkan kepala dan mendecakkan mulut.
“Nah, dengan penjelasanku ini,” kata Sufi Sudrun,” Masuk akalkah menurut saudara, jika ada orang-orang Arab Badui berfaham Wahabi yang anti bid’ah, anti khurafat, anti dengan berbagai unsur jahiliyyah dari agama selain Islam, tiba-tiba mendirikan lembaga pendidikan pesantren? Bagaimana aneh bin ajaibnya ini, ada orang berfaham Wahabi tiba-tiba mengembangkan lembaga pendidikan dengan memungut sisa-sisa Hindu-buddha yang mereka anggap lembaga sisa jahiliyyah?”
”Tapi pimpinan pesantrennya memakai gelar Kyayi, bagaimana itu bapak?” tanya si penyusup.
“Itu juga mustahil bin mustahal,” tukas Sufi Sudrun menjelaskan,”Soalnya, gelar Kyayi adalah gelar kebangsawanan pra Majapahit yang setara dengan gusti. Hanya kalangan brahmana-ksatria, yang berhak menggunakan gelar Kyayi. Asal saudara tahu, keturunan Arya Damar Adipati Palembang di Bali – dari puteranya yang bernama Arya Jasan – lahir raja-raja Tabanan bergelar kyayi seperti Kyayi Arya Ngurah Sari, Kyayi Arya Celuk, Kyayi Agung Made Tabanan, dsb. Para raja itu beragama Hindu”
“Oo begitu ya bapak..?”
“Ini kan aneh, ada orang Arab Badui berfaham Wahabi tahu-tahu memakai gelar kebangsawanan Majapahit, Kyayi, yang jelas-jelas gelar itu mereka anggap sebagai simbol jahiliyyah dari masa kerajaan kafir Majapahit. Ini benar-benar mustahil bin mustahal,” kata Sufi Sudrun ketawa.
“Jadi simpulan dari penjelasan bapak itu bagaimana?” tanya si penyusuf minta penegasan.
“Menurut hematku, itu pesantren palsu dan gelar kyayi-nya juga palsu, karena sepanjang sejarah tidak pernah ada pesantren berfaham Wahabi. Sepanjang sejarah, Wahabi juga menganggap haram mengambil alih anasir-anasir Hindu-buddha. Bahkan setahuku, belum ada juga orang Arab badui memakai gelar kebangsawanan Jawa kuno, Kyayi. Dari mana nalar lojik semua itu?” kata Sufi Sudrun.
“Maaf bapak,” kata si penyusup kepada Sufi tua,”Kira-kira kordinat pesantren Wan Abu itu ke mana ya?” tanyanya tidak lagi menyebut gelar kyai di depan nama Abu Ba’afkir.
“Kalau hubungannya dengan Osama bin Ladn,” kata Sufi tua singkat,”Aku pikir semua intelijen sedunia sudah mafhum, ke mana koordinat Wan Abu itu.”
Dullah yang sejak tadi menyimak tiba-tiba bertanya,”Mohon tanya mbah.”
“Soal apa?” gumam Sufi tua.
“Apakah Wan Abud kordinatnya nyambung dengan gerakan NII?” tanya Dullah.
“Kalau NII itu lain lagi kordinatnya,” kata Sufi tua seperti menahan geli.
“Kira-kira NII itu ke mana jalurnya?” tanya Dullah penasaran.
“Itu kerjaan jaringan intelijen lokal, kelanjutan dari OPSUS dulu, jamannya Orde Baru eranya Ali Murtopo dan L.B.Murdani,” kata Sufi tua mengingat-ingat.
“Woo begitu yaa…” sahut Dullah melenggong.
“Iya, itu angkatannya Panji Cemerlang, arek Sedayu, Gresik yang dibikinkan pesantren As-Syaithon di Dermayu. Panji itu seangkatan dengan Supirto, mantan menteri yang bikin Partai Kesejahteraan Sosial. Jaringan-jaringan bekas OPSUS itu, masih eksis dan operasional, mengiringi perjalanan sejarah bangsa kita,” kata Sufi tua..-faith acccomply
“Berarti mereka itu tidak bahaya kan, bapak?” tukas si penyusup
Demi keamanan dan keselamatan aset-aset kapitalisme global.”rust en orde berkuasa untuk menegakkan ruling class – yang dikendalikan kapitalisme global. Sebab dalam open society tak lagi dibutuhkan demokrasi, tetapi butuh open society. Sufi tua ketawa, lalu berkata,”Ya untuk negara tidak berbahaya. Tapi untuk rakyat, masih harus dikaji ulang, terutama jika dikaitkan dengan geopolitik perubahan tatanan global –
“Hwaduuuh, jadi semua itu kayaknya palsu.” sahut Dullah garuk-garuk kepala,”Ini kayaknya ada hubungannya dengan RUU Intelijen yang harus disahkan jadi UU, mbah, karena sekarang ini negara dikesankan sudah dalam keadaan “siaga” dan bahkan mungkin sebentar lagi “awas”.
Sufi tua dan Sufi Sudrun ketawa. Si penyusup tersenyum kecut.
*Dari FB Agus Sunyoto II
0 komentar:
Posting Komentar