RSS

Belajar dari Hikayat Osama

Akhirnya Osama bin Laden tewas di tangan pihak yang pernah menjadi mitra atau disebut-sebut ikut melahirkannya: militer Amerika Serikat. Akhir hidup yang tragis seperti dialami Saddam Hussein. Kedua tokoh itu pernah menjadi sekutu AS, tetapi setelah pecah kongsi berbalik menjadi musuh nomor wahid.

Bagi korban kekerasan aksi teror yang pernah dilancarkan oleh jaringan Tanzim Al Qaeda, organisasi teror bentukan Osama bin Laden, kematian Osama pantas disyukuri dan dianggap sebagai balasan yang setimpal dengan kekerasan yang pernah ia lakukan. Bagi yang mendukung Osama bin Laden, kematian ini kian mengobarkan dendam dan diprakirakan akan ada serangan balas dendam.

Kematian Osama bin Laden dianggap mampu memukul telak jaringan terorisme global. Meskipun bukan pukulan yang mematikan, paling tidak itu cukup ampuh melemahkan kekuatan lawan. Namun, tak sedikit yang meragukan anggapan ini. Abu Haniyah, analis jaringan terorisme yang dikutip Al Jazeera pada 2 Mei lalu, berpendapat, tewasnya Osama tak berpengaruh banyak terhadap jaringan Al Qaeda.

Menurut Abu Haniyah, aksi terorisme yang meledak di beberapa kawasan dunia sebelum ini belum tentu melalui kendali langsung Osama. Meskipun ada keterkaitan ideologis, dari sisi operasional aksi teror itu merupakan operasi yang bisa dianggap mandiri dan terpisah dari Al Qaeda pusat.

Selain itu, tokoh nomor dua dalam Al Qaeda setelah Osama, Ayman Al Zawahiri, tak berhasil dicokok. Maka, kematian Osama bukanlah akhir terorisme.

Terorisme yang hanya dikaitkan dengan Osama dan Al Qaeda merupakan pendapat yang sudah usang dan dipaksakan. Kalau kita amati, aksi-aksi teror yang hingga saat ini terjadi di Indonesia tidak lagi dilakukan oleh individu dan jaringan yang memiliki keterkaitan langsung dengan organisasi Al Qaeda. Mereka berasal dari generasi baru terorisme yang terpengaruh ideologi Al Qaeda.

Maka, pertanyaan penting ke depan bukan lagi apakah kematian Osama ini berpengaruh terhadap jaringan terorisme global, melainkan bagaimana memutus mata rantai kekerasan dan terorisme yang sudah berkembang biak sangat cepat. Menurut hemat saya, dengan atau tanpa Osama, terorisme akan terus mengancam.

”Anak haram” kekuasaan
Osama bin Laden adalah sosok yang pernah menjadi mitra intelijen AS dalam perang melawan Uni Soviet pada 1979-1989, yang dikenal sebagai Operation Cyclone. Soviet sebagai negara komunis yang antiagama dan Tuhan serta menduduki Afganistan menjadi musuh bersama aliansi intelijen dan militer Amerika, Pakistan, dan Arab Saudi.

Aliansi ini memanfaatkan milisi sipil orang-orang Arab di Timur Tengah yang nanti disebut Arab Afgan. Dalam kelompok ini ada Osama bin Laden dan gurunya, Abdullah Azzam. Dalam konteks inilah Osama dipakai dan dibentuk untuk melawan tentara Soviet.

Namun, setelah kongsi politik pecah, milisi Arab Afgan—yang pada kemudian hari di tangan Osama menjadi Tanzim Al Qaeda ini—melancarkan aksi teror di negara-negara yang sebelumnya sohib mereka: di AS terjadi peristiwa 11 September 2001, di Arab Saudi serangan di Riyadh, dan kekerasan-kekerasan lain di Pakistan. Kita pun disadarkan, pihak yang memanfaatkan kelompok dan milisi kekerasan untuk menghadapi lawan akhirnya akan membalikkannya kepada mereka yang melahirkannya.

Tiba-tiba saya teringat nasib Sang Imam, tokoh dalam novel yang ditulis oleh Nawal el Saadawi berjudul Suqûth al-Imâm atau Jatuhnya Sang Imam. Novel ini berkisah tentang seorang pemimpin (imam) politik dan agama yang memiliki anak dari hubungan gelap. Imam ini tidak mau mengakui anaknya itu dan membungkus dirinya dengan pencitraan moral. Akhirnya imam itu mati di tangan anak yang diingkarinya.

Novel Saadawi tersebut sebenarnya alegori untuk kekuasaan yang jatuh dalam hubungan gelap dengan kemunafikan dan kekerasan. Novel ini terinspirasi oleh kematian Sadat, Presiden Mesir yang ditembak mati kelompok garis keras Tanzim Al Jihad dan Jemaah Islamiyah, Oktober 1981.

Bagi Saadawi, kelompok-kelompok Islam garis keras di Mesir itu merupakan ”anak haram” yang lahir dari rahim politik Sadat. Kelompok-kelompok itu awalnya didukung penuh oleh Sadat. Mereka dimanfaatkan dalam konfrontasi melawan Israel, sementara di dalam negeri mereka dipakai untuk mengebiri kekuatan nasionalisme (kiri) Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir sebelum Sadat.

Seperti Sang Imam yang berkedok moralitas agama dan akhirnya jatuh oleh anaknya yang berasal dari hubungan gelap, politik luar negeri AS juga sering berlindung di balik nilai-nilai luhur, seperti kebebasan dan demokrasi, tetapi tak jarang memanfaatkan kelompok garis keras atau menggunakan kekerasan yang mereka daku untuk menyebarkan nilai-nilai luhur itu.

Memutus rantai kekerasan
Dari penjelasan itu, saya tidak hendak mengajak pembaca untuk memaklumi kekerasan. Saya tidak ingin mengatakan aksi-aksi terorisme hanyalah reaksi belaka atau balas dendam yang dilancarkan oleh pelakunya karena sasarannya dituding punya saham dalam kekerasan itu.

Korban terorisme, khususnya masyarakat sipil, tidak terkait sama sekali dengan kekerasan. Namun, dalam konteks ini mereka bukan hanya korban pelaku teror, melainkan juga korban dari kebijakan politik pemerintah mereka yang bisa dijadikan dalih untuk balas dendam.

Untuk itulah mata rantai kekerasan harus diputus bukan dengan cara kekerasan dilawan dengan kekerasan. Cara ini akan semakin memperpanjang mata rantai kekerasan. Segala penggunaan potensi kekerasan sejak awal harus ditentang.

Strategi gelap yang pernah dilakukan untuk mendukung atau membentuk Osama dan jaringannya atau kelompok-kelompok garis keras dan milisi-milisi sejenisnya tidak bisa dibenarkan sama sekali. Osama adalah hikayat yang tidak bisa dilepaskan dari politik luar negeri dan operasi militer AS.

Maka, tantangan terberat AS di bawah pemerintahan Obama di dunia internasional dan dunia Islam khususnya hanya bisa dijawab bukan dengan pidato saja. Namun, apakah strategi politik luar negerinya tidak lagi melahirkan ”Osama-Osama” yang baru pada masa depan atau tak lagi menggunakan operasi-operasi militer yang bisa dijadikan dalih sebagai reaksi balas dendam.

Bisakah kita belajar dari hikayat Osama?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar