RSS

UAN & SNMPTN Dalam Pandangan Sufi

Gara-gara setia mendampingi anak dan keponakannya belajar serius menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) dan bahkan mengantar mereka ziarah ke kubur wali agar dapat barokah dan lulus ujian, Sukiran jatuh sakit dan dirawat di RSUD. Ketika Sukiran menghadap Guru Sufi untuk meminta barokah doa bagi kesembuhan ayahnya, ia berpapasan dengan Sufi tua dan mengabarkan keadaan ayahnya yang sedang sakit. Tahu bahwa penyebab jatuh sakitnya Sukirin adalah UAN, Sufi tua menyayangkan kekeras-hatian ayah dari Sukiran itu yang enggan menuruti sarannya. “Aku sudah memberitahu bapakmu, untuk tidak terlalu serius menghadapi UAN bagi adikmu. Berkali-kali aku katakan, bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh gelar akademis dan ijazah sekolah,” kata Sufi tua.

“Tapi mbah,” sahut Sukiran tidak faham,”Kalau tidak serius belajar, nanti tidak lulus ujian. Kalau tidak lulus ujian, berarti tidak bisa ikut tes SNMPTN dan itu berarti tidak bisa kuliah adik saya.”

“He, apa kau pikir UAN itu seleksi evaluative hasil belajar tingkat nasional?” tanya Sufi tua.

“Ya pasti begitu toh mbah,” sahut Sukiran ketawa,”Namanya juga Ujian Akhir Nasional. Jadi itu seleksi evaluative hasil belajar tingkat nasional. Kan siswa yang ikut UAN juga skalanya nasional? Bagaimana toh mbah?”

“Kamu salah sangka, le. Sekali pun UAN itu singkatan Ujian Akhir Nasional, tapi UAN sekali-kali bukanlah sebuah seleksi evaluative hasil belajar secara nasional,” kata Sufi tua.

“Kenapa sampeyan bisa bilang begitu, mbah?” sergah Sukiran penasaran.

“Coba kamu pikir yang jernih,” kata Sufi tua dengan suara tenang,”Jika UAN itu sebuah seleksi evaluatif tingkat nasional, maka ijazah tanda kelulusan yang di dalamnya terdapat nilai kelulusan UAN hendaknya diakui keabsahannya secara nasional. Maksudnya, jika UAN memang hasil seleksi evaluatif belajar para siswa tingkat nasional, maka tanda kelulusan UAN harus diakui sebagai hasil belajar siswa pada tingkat nasional. Itu berarti, ijazah hasil seleksi evaluatif UAN langsung bisa digunakan untuk mendaftar masuk ke perguruan tinggi. Faktanya, ternyata hasil seleksi evaluatif yang disebut UAN itu hanya berupa selembar kertas yang tidak bisa dijadikan jaminan untuk masuk langsung ke perguruan tinggi. Siswa-siswa yang lulus UAN, wajib mengikuti ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi, yaitu SNMPTN. Lalu untuk apa diselenggarakan UAN jika hasilnya tidak bisa dijadikan tolok-ukur kemampuan hasil belajar siswa, yang memungkinkan untuk mengikuti proses belajar-mengajar di perguruan tinggi? Untuk apa lulus UAN jika ternyata masuk PTN harus diuji lagi? Apakah itu bukan kemubadziran luar biasa?”

“Emm benar juga ya mbah?” gumam Sukiran mengangguk-angguk.

“Tahukah kamu, kenapa program mubadzir UAN itu diteruskan dan kenapa pula seleksi masuk perguruan tinggi semacam SNMPTN tetap juga dijalankan?” tanya Sufi tua.

“Wah kalau itu saya kurang tahu, mbah,” sahut Sukiran garuk-garuk kepala,”Soalnya saya ini kurang cerdas dan sempit wawasan. Bayangkan, mbah, masuk PTN saja saya gagal terus, apalagi ditanya UAN dan SNMPTN, tambah gak ngerti saya.”

“Kalau menurut aku, UAN dan SNMPTN itu terus dijalankan, sekalipun banyak yang tidak setuju dan bahkan protes, itu lebih disebabkan karena itu program banjir dana tahunan. Maksudku, dana untuk UAN dan SNMPTN itu tidak sedikit jumlahnya. Kalau sampai keduanya ditiadakan, bisa bikin gigit jari orang-orang yang terlibat di dalam lingkaran pendidikan formal,” kata Sufi tua.

“Woo bener itu, mbah,” sahut Sukiran,”Untuk ikut tes SNMPTN saja, tiap-tiap calon mahasiswa harus bayar Rp. 150.000. Padahal, yang ikut tes SNMPTN se-Indonesia jumlahnya lebih 170.000 orang. Wow o wo, bermiliar-miliar itu.”

“Hehehe, cerdas juga kamu le,” tukas Sufi tua,”Tidak perlu dijelaskan sudah faham sendiri. Itu belum berkaitan dengan jumlah calon mahasiswa yang tidak lulus SNMPTN kemudian ikut program SPMB dan program Kemitraan, yang mengabsahkan tawar-menawar tarif masuk.”

“Iya mbah, tajir betul ya hasil dari seleksi-seleksian itu.”

“Tapi salahnya masyarakat juga yang sangat percaya dan sangat serius menghadapi program-program pengerukan dana itu,” kata Sufi tua.

“Salah satu korbannya adalah bapak saya yang masuk RSUD.”

“Kalau seriusnya dilanjutkan, bapakmu bisa mati dan dijamin masuk neraka,” kata Sufi tua.

“Lho, kok bisa sampeyan bilang begitu mbah?” kilah Sukiran memprotes,”Apa dasar sampeyan menyatakan bapak saya jika mati akan masuk neraka?”

“Karena iman bapakmu sudah terhegemoni doktrin para pencari keuntungan yang mengatas-namakan pendidikan; terhegemoni doktrin para pencari keuntungan yang menyatakan bahwa kesuksesan dan keberhasilan seseorang itu mutlak ditentukan oleh ijazah formal sekolah dan gelar kesarjanaan. Padahal, sebagai kaum beriman, hendaknya bapakmu yakin bahwa peruntungan nasib dan takdir manusia itu mutlak ditentukan Allah; Allah Yang berwenang memberi petunjuk jalan lurus dan Allah pula yang berwenang menggelar jalan sesat bagi manusia sesuai yang dikehendaki-Nya; Allah Yang mutlak menentukan takdir baik dan takdir buruk makhluk-Nya; Dia Yang mutlak menentukan hidup dan mati makhluk-Nya; bahkan selembar daun jatuh pun, atas kehendak-Nya jua; lantas bagaimana keimanan itu diganti dengan doktrin membuta bahwa yang menentukan nasib baik manusia adalah ijazah dan gelar akademik kesarjanaan?” kata Sufi tua.

“Tapi mbah, kalau sekarang ini kita tidak kuliah, apa kata duniaaa?” seru Sukiran menjulurkan lidah.

“Tapi kalau gara-gara sekolah keimananmu menjadi berubah, apa kata akhiraaat?” sahut Sufi tua tertawa terkekeh-kekeh.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar