RSS

KONYOLNYA STUDI BANDING DPR

Pendidikan Tinggi Tetap Bikin Frustasi

Tak lama lagi istilah studi banding akan berubah makna. Dari sebuah konsep belajar di lokasi dan lingkungan berbeda, menjadi jalan-jalan ke lokasi atau lingkungan lain.

Perubahan makna ini sebagai konsekuensi atas terus berlangsungya kegiatan studi banding yang dilakukan DPR.

Sudah jelas, tidak ada yang dipelajari dari kegiatan tersebut. Tetapi mereka selalu ngotot, bahwa mereka belajar banyak. Namun ketika ditanya apa yang mereka pelajari, mereka tidak bisa menunjukkan. Yang terlihat adalah aktivitas jalan-jalan dan belanja-belanja.

Apa boleh buat, daripada terus beradu argumen dan beradu bukti dengan anggota DPR, lebih baik yang waras mengalah. Studi banding berubah arti saja menjadi jalan-jalan, atau dimaknai secara khusus kegiatan jalan-jalan pejabat ke luar negeri atau ke luar daerah.

Mengapa pejabat? Mengapa bukan anggota DPR saja? Ya, kenyataannya kalau ditelisik lebih lanjut para pejabat eksekutif juga suka melakukan kegiatan jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Tidak percaya? Lacak saja laporan keuangan departemen atau instansi pemerintah ke BPK.

Apakah pejabat daerah, anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah, juga melakukan? Sama saja, dan mungkin lebih parah. Hanya karena lepas dari kontrol masyarakat dan media saja, kegiatan jalan-jalan mereka tidak ketahuan. Jika di DPR setiap RUU harus distudibandingkan, demikian juga dengan setiap Raperda.

Tentu saja, DPRD studi bandingnya tidak ke luar negeri, melainkan ke daerah lain. Dalam hal ini daerah di sekitar Jakarta, Yogyakarta dan Bali, jadi sasaran daerah di Luar Jawa. Sedang daerah di sekitar Batam, Palembang, dan Manado, jadi sasaran DPRD Jawa.

Oleh karena itu, rasanya “tidak adil” bila para aktivis LSM, akademisi dan media hanya menyorot habis kegiatan studi banding DPR. Mestinya mereka juga memantau kegiatan serupa dari pejabat eksekutif, anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah. Dengan demikian perubahan makna studi banding menjadi sekadar jalan-jalan itu bisa langsung diterima di seluruh penjuruh tanah air.

Pertanyaan, “apa manfaat studi banding?”, tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan posisi dan fungsi pejabat publik. Studi banding adalah jalan-jalan yang membikin pelakunya senang. Paling-paling manfaatnya: segar kembali saat menjalani tugas.

Pertanyaannya mungkin harus ditarik lebih ke belakang: mengapa DPR/DPRD diisi oleh orang-orang yang sampai tega hati mengubah makna studi banding menjadi jalan-jalan? Mengapa anggota DPR/DPRD yang diharapkan dapat mengontrol pejabat eksekutif, justru ikut-ikutan melakukan kegiatan yang mestinya mereka cegah?

Studi banding sebetulnya sudah lama dipraktekkan oleh DPR. Abaikan DPR hasil pemilu-pemilu Orde Baru, perhatikan DPR hasil tiga kali pemilu terakhir. DPR hasil Pemilu 1999 tercatat melakukan beberapa perjalanan ke luar negeri, lalu jumlahnya meningkat pada DPR hasil Pemilu 2004, dan semakin lebih banyak pada hasil Pemilu 2009.

Pada DPR hasil Pemilu 2004, masyarakat berhasil menunjukkan kejanggalan-kejanggalan kegiatan perjalanan ke luar negeri. Keluhan dari staf Kedutaan Besar RI di berbagai negara yang dikunjungi para anggota DPR juga mulai keluar. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah mereka untuk mengulangi perjalanan ke luar negeri. Hanya beberapa anggota dewan saja yang menolak ikut karena merasa tidak ada manfaatnya.

DPR hasil Pemilu 2009 menghadirkan harapan baru. Profil mereka masih muda dari sisi usia, semangat kerja mereka akan tinggi karena 70% adalah orang-orang baru. Sebagian besar mereka adalah lulusan S-2 dan S-3, sehingga akan lebih pandai dalam menghadapi masalah-masalah sosial politik yang kompleks.

Lebih dari itu semua, mereka dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.Dengan demikian, mereka pasti akan memperhatikan suara rakyat. Karena selama ini banyak pemantau dan pengamat yakin, sistem suara terbanyak akan meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat terhadap rakyatnya. Apalagi mereka pasti takut tidak terpilih kembali pada pemilu mendatang, jika berperilaku buruk dan kinerjanya rendah.

Akan tetapi, harapan tidak kunjung datang, asumsi tidak kunjung terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya. Hanya dalam jangka satu tahun, masyarakat sudah dibikin frustasi oleh anggota DPR: berlaku konyol dan memalukan, bersikap angkuh dan tak peduli, berpikir picik tak malu hati. Inilah hasil pemilu berdasarkan suara terbanyak.

Dari Striptis Hingga Dimaki Profesor Perancis

Studi banding anggota DPR ke luar negeri terus menuai protes. Kunjungan itu bak liburan masa reses yang menghabiskan uang rakyat, sementara hasilnya tidak jelas.

Komisi X yang membawahi olahraga, dan pariwisata, misalnya kedapatan berfoto-foto dan membeli tiket pertandingan Real Madrid di ke Stadion Santiago Bernabeu, Spanyol.

Lalu studi banding Komisi VIII ke Australia. Mereka hendak melakukan studi banding ke parlemen Australia, padahal parlemen di Negeri Kanguru itu sedang reses. Konyolnya lagi anggota DPR sempat membohongi mahasiswa Indonesia di sana soal email resmi Komisi VIII beralamat di komisi8@yahoo.com.

"Itu semakin memperjelas studi banding itu tidak ada gunanya. Itu hanya modus untuk jalan-jalan dan mendapatkan uang saku," ujar Kordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Banyak cerita minor tentang kelakuan wakil rakyat saat berkunjung ke luar ngeri. Pada 28 Juli 2005, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda memergoki anggota DPR dari Badan Legislatif jalan- jalan dan belanja barang mewah. Wakil rakyat pun terpotret sedang menenteng barang belanjaan merek Bally atau Gucci.

"Mereka tidak ada agenda di Belanda dan saat itu kami memang ingin menemui mereka untuk audiensi. Mereka 2 malam di Amsterdam," ujar mantan Ketua PPI Amsterdam 2004- 2005 Berly Martawardaya kepada detikcom.

Anggota DPR tidak mempunyai agenda resmi ke Amsterdam karena pada saat itu Parlemen Belanda yang berkedudukan di Den Haag juga sedang masa reses.

Hal senada juga dibeberkan mantan Ketua PPI Perancis Mahmud Syaltout. Sebelum mendatangi Amsterdam, anggota DPR itu sebenarnya hendak studi banding ke Perancis. Tidak jelas dalam urusan apa kunjungan itu. Namun, kedatangan anggota DPR itu telah jauh-jauh hari ditolak oleh PPI Perancis.

Ketua PPI saat itu (alm) Rudianto Ekawan, memerintahkan semua mahasiswa untuk datang ke KBRI Perancis dan melakukan aksi walk out serta membacakan surat protes atas kedatangan anggota DPR. Aksi ini diharapkan menjadi tamparan keras bagi wakil rakyat yang datang tanpa persiapan ke Perancis.

Anggota DPR tidak bisa memberikan penjelasan logis soal kedatangan mereka. Salah seorang juru bicara DPR menyatakan tujuan mereka untuk bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang pintar. Mereka juga memuji mahasiswa di luar negeri sebagai pemimpin bangsa dan juga merupakan konstituen mereka.

"Sebelum pidato selesai, teman saya, Rudianto AB interupsi dan membacakan surat protes dari PPI Prancis. Kemudian kita walk out. KBRI pun geger dan semua marah sama kita," cerita Mahmud.

Gara-gara kejadian itu semua jadwal kunjungan DPR di Belanda dan Belgia ikut dibatalkan. Akhirnya PPI Belanda memergoki para wakil rakyat itu asyik berbelanja.

Mahmud kembali menjadi guide untuk anggota DPR yang melakukan studi banding mengenai masalah anggaran ke Perancis pada 2006. Sebenarnya, kedatangan anggota DPR bukan ke Perancis, tetapi hendak menonton pertandingan final Piala Dunia di Jerman antara Italia melawan Perancis. Karena datang lebih awal, mereka menyempatkan diri melancong ke negeri mode tersebut.

Rombongan ternyata tidak hanya terdiri dari anggota DPR, tapi juga banyak terdapat anggota DPRD dari DKI Jakarta. Selama berada di Perancis, para wakil rakyat itu menghamburkan uang dengan berbelanja merek mahal semisal Louis Vitton, Pierre Cardin, dan membeli jam tangan mahal yang harganya dapat membiayai uang kuliah seorang mahasiswa selama setahun.

KBRI Perancis yang dipimpin oleh (alm) Arizal Effendi juga menolak memfasilitasi anggota DPR. Para anggota dewan dianggap sebagai rombongan liar.

Saat itu, salah seorang anggota DPR sempat meminta untuk dicarikan gadis panggilan di Perancis. Mahmud menjelaskan, di Perancis tidak ada pusat lokalisasi seperti Red Light di Belanda.Si anggota DPR kemudian meminta ditunjukkan pusat tarian striptis di Perancis. Mahmud pun menyarankan agar mereka pergi sendiri ke Moulin Rouge.

Saat akan kembali ke Jerman, ketua rombongan DPR itu nyeletuk ada yang kurang saat di Perancis. "Apa yang kurang, belum beli Hermes ya atau barang apalagi yang tidak ada?" kata salah seorang anggota rombongan menanggapi celetukan ketuanya. "Bukan, kita belum sempat foto-foto di Menara Eiffel," jawab si ketua santai.

Pada 2007, anggota DPR mendapat makian Guru Besar Ilmu Tata Negara Universitas Sorbon Perancis Prof Edmond Jouve. Saat itu, beberapa anggota DPR ke Perancis untuk melakukan studi banding tentang Kementerian Negara dan Dewan Penasihat.

Mahmud yang mahasiswa Ilmu Tata Negara pun meminta Jouve untuk menjelaskan sistem tata negara di Perancis dan Indonesia. Dalam pertemuan di KBRI Perancis itu, Jouve menjelaskan sistem tata negara Perancis dan Indonesia sangat berbeda.

Mendengar paparan itu, seorang anggota dewan nyeletuk mereka salah mendatangi Perancis untuk studi banding. Anggota dewan lainnya pun terbahak-bahak mendengar celetukan itu.

Melihat hadirin tertawa, Jouve bertanya. Penerjemah menjelaskan celetukan sang anggota dewan. Mendapat penjelasan itu Jouve marah. "Kalian semua goblok," maki Jouve dalam bahasa Perancis.

Sang profesor lantas mengingatkan Indonesia bukanlah negara kaya dan masih berada di dalam kategori negara berkembang, kenapa malah menghamburkan uang jika tidak ada hasilnya.

Puluhan Miliar Keluar, Hasilnya Tak Bisa Diharapkan

Studi banding anggota DPR ke luar negeri menghabiskan dana puluhan miliar. Sementara hasilnya tidak bisa diharapkan. Tidak heran bila 78 persen masyarakat menolak studi banding DPR.

Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), sampai November 2010, dana kunjungan kerja anggota DPR yang tergabung dalam alat kelengkapan atau komisi senilai Rp 30,91 miliar. Dana ini belum termasuk dana kunjungan kerja anggota DPR untuk delegasi beberapa pertemuan parlemen dunia yang jumlahnya Rp 8,1 miliyar.

Sementara biayai kunjungan kerja DPR untuk tahun 2011 ini saja, yang belum sampai pertengahan tahun, sudah menghabiskan sekitar lebih dari Rp 12,7 miliar. Rinciannya, dana untuk 5 pelesiran 11 anggota Komisi I selama tujuh hari seperti ke AS, Turki,Rusia, Perancis dan Spanyol memakan biaya lebih dari Rp 5,7 miliar.

Kunjungan kerja 13 anggota komisi selama satu pekan ke China dan Spanyol senilai Rp 2 miliar. Kunjungan 13 anggota Komisi VIII ke Cina dan Australia senilai Rp 1,5 miliar dan kunjungan 13 anggota BURT DPR ke Inggris dan AS senilai Rp 3,6 miliar.

Masyarakat sudah seringkali mengkritik studi banding DPR tersebut. Namun DPR tidak peduli dan tetap melenggang pergi ke luar negeri. Data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan setidaknya ada 7 kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri pada kurun waktu tahun sidang 2009-2010, yang sering diprotes.

Di antaranya yakni kunjungan kerja Panitia Kerja RUU Kesejahteraan Sosial Komisi VIII ke China, Panitia Khusus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke Perancis dan Australia, kunjungan kerja Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) ke Maroko, Jerman dan Perancis.

Lalu kunjungan kerja Pansus RUU Protokol ke Perancis, kunjungan kerja Komisi V dalam rangka pembahasan RUU Perumahan dan Pemukiman ke Austria, kunjungan Panja RUU Cagar Budaya Komisi X ke Turki dan Belanda, serta kunjungan Panja RUU Grasi Komisi III ke Belanda dan Selandia Baru. Sementara untuk masa sidang tahun 2010-2011 ini baru tercatat ada 16 kunjungan kerja yang dilakukan DPR ke luar negeri.

Dari 16 rencana kunjungan ini yang terlaksana 13 kunjungan, seperti kunjungan Panja RUU Holtikultura Komisi IV, Panja RUU Kepramukaan Komisi X, Panja RUU Keimigrasian Komisi III, Panja RUU Mata Uang Komisi XI, Komisi VIII, Badan Legislasi, Badan Kehormatan, Komisi V, Panja RUU Otoritas Jasa Keuangan Komisi XI, Komisi VI, Panja RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar Komisi IV dan Panja RUU Informasi. Kunjungan-kunjungan itu sendiri dilakukan ke negara seperti Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, Belanda, Perancis, Swiss, Inggris, Afrika Selatan, Kanada, Amerika Serikat, Filipina, Yunani, Italia, Rusia, Jerman, Hongaria, Hongkong, Turki da Brazil. Belum lagi 8 kali kunjungan alat kelengkapan pada tahun sidang 2009-2011 ke sejumlah negara.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2011 ini juga menunjukkan masyarakat sudah muak dengan studi banding DPR yang tidak ada gunanya. Hasil survei LSI menyatakan sebanyak 78 persen masyarakat tidak setuju studi banding DPR ke sejumlah negara.

"78 persen masyarakat menolak studi banding dengan alasan meningkatkan kinerja, karena selama ini studi banding yang dilakukan oleh anggota DPR lebih tampak di mata publik sebagai kedok untuk menutupi nafsu pelesiran, ketimbang retorika meningkatkan kinerja," kata peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi kepada detikcom.

Penelitian ini menguatkan hasil survei pada tahun 2009 silam. Pada awal bulan September 2009, tidak lama setelah anggota DPR periode 2009-2014 dilantik, LSI melakukan survei tentang Evaluasi Publik terhadap Kinerja DPR.

Saat itu respondennya 1.220 orang di 33 Provinsi se-Indonesia. Responden sempat ditanya soal setuju atau tidaknya masyarakat terhadap kunjungan kerja ke luar negeri yang biasa dilakukan anggota DPR selama ini. Hasilnya 61,3 persen tidak setuju studi banding.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga mengutarakan hal serupa. "Itu semakin memperjelas bahwa studi banding tidak ada gunanya. Itu hanya modus DPR saja untuk jalan-jalan dan mendapatkan uang saku," kata Koordinator Formappi, Sebastian Salang.

Menurut Sebastian, studi banding DPR sejak awal perencanaan telah memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk berfoya-foya. Misalnya ketika anggaran dibahas, mereka menetapkan platform alat-alat kelengkapan negara, misalnya jalan-jalan ke luar negeri dua sampai tiga kali untuk sekian negara.

Memang hasil studinya sangat jauh dari yang diharapkan. "Tidak ada hasil studi dan Undang-Undang yang berkualitas yang dihasilkan dari kunjungan kerja tersebut," jelasnya.

Meski survei telah membuktikan masyarakat menolak studi banding, anggota DPR tetap beranggapan masyarakat sebenarnya hanya mengevaluasi studi banding agar efektif.

"Kalau kita melihat, masyarakat itu tidak melarang, tapi menekankan pada efektivitas, transparansi dan akuntabilitas kepada publik,"kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN Taufik Kurniawan.

Studi Banding Sekali, Puluhan Juta Dikantongi

Bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Begitulah seolah sikap DPR atas kritik terhadap studi banding ke luar negeri. Studi banding yang seringkali penuh kekonyolan itu tetap dilakukan meski mendapat protes berbagai kalangan. Mengapa?

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menuding studi banding DPR sesungguhnya hanya plesiran. FITRA pun miliki data DPR mendapatkan dana yang besar dari kegiatan studi banding. Per anggota dewan bisa mendapatkan uang puluhan juta untuk sekali studi banding.

"Tiap anggota bisa dapat uang saku Rp 26 juta-Rp 30 juta sekali berangkat selama tujuh hari. Belum lagi uang representasi sebesar US$ 2.000, ini semua bersifat Lumsum. Artinya banyak anggota dewan yang memangkas hari perjalanan, menggunakan kelas ekonomi, mengajak keluarga, tidak dituntut untuk

mengembalikan sisa uang perjalanannya, karena ini bersifat Lumsum dan minimnya akuntabilitas," kata Sekretaris Nasional FITRA Yuna Farhan.

Menurut Yuna, anggaran pelesiran anggota DPR berkedok studi banding ini tidak menggunakan platform setiap RUU dibahas lalu ada kunjungan kerja ke luar negeri, yang rencananya akan dinaikkan menjadi Rp 3,4 miliar per RUU. "Ini tidak semua RUU membutuhkan studi banding atau pelesiran ke luar negeri," tegas Yuna.

Pernyataan pimpinan DPR yang akan memangkas belanja perjalanan ke luar negeri juga harus dipertanyakan. Kalau memang serius, jatah pelesiran pimpinan juga harus dipangkas. Tidak sekadar bicara anggaran perjalanan dipotong 40 persen. "Orientasinya harus segera diubah sejak menyusun anggaran di BURT, tidak sekadar bagi-bagi jatah setiap alat kelengkapan, komisi dan setiapmembahas RUU, tapi susun berdasarkan kebutuhan," jelasnya.

Dana-dana sebesar itu untuk membiayai kunjungan kerja berbalut pelesiran ini memang sulit dipertanggungjawabkan. Apalagi banyak rombongan anggota DPR yang baru pulang dari luar negeri hanya memahami pertanggungjawaban itu sendiri melalui konferensi pers.

"Tapi hasilnya kan tidak ada UU yang lahir bagus setelah ke luar negeri. Ratusan kali ke luar negeri, kalau saja serius melakukan studi itu dan hasilnya jelas, maka mungkin perpustakaan kita kaya. Tapi coba dicari tidak ada hasil studi banding yang bagus," celetuk Koordinator Formappi Sebastian Salang.

Agar kunjungan itu tidak foya-foya dang menghasilkan sesuatu yang bagus, studi banding yang bersifat kolektif harus dihentikan. Kalau memang DPR serius, studi banding lebih baik dilakukan per orangan atau satu anggota DPR saja. "Siapa yang punya gagasan untuk merancang RUU, maka dialah yang mengajukan proposal ke luar negeri, ini jauh akan lebih berkualitas dan lebih akuntabel," jelas Sebastian.

Banyak juga dorongan masyarakat yang meminta agar studi banding DPR ini dihapuskan saja, karena lebih banyak terlihat pelesirannya saja. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pun menunjukkan 78 persen masyarakat melarang anggota DPR melakukan studi banding ke luar negeri.

Pengamat politik dan peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi tidak setuju penghapusan studi banding. Menurut Burhan, yang perlu dilakukan hanya moratorium sampai ada konsep dan akuntabilitas serta mekanisme yang lebih jelas. Dalam beberapa hal studi banding memang diperlukan seperti dalam pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan.

"Seperti yang kita lihat sekarang kesan buang-buang anggarannya terlihat, konsep tidak jelas dan seterusnya. Kalau dihapus tidak, hanya diperjelas saja konsep, urgensi, tepat sasaran, mekanisme yang tepat dan tranparasi yang jelas," kata Burhan.

"Kalau syarat-syarat ini dipenuhi, paling studi banding itu tidak banyak, selebihnya bisa ganti format studi banding dengan memanggil ahli dari luar negeri, kan lebih murah," tandas Burhan.

Kalangan juga DPR tidak akan menghapus studi banding. DPR akan melakukan evaluasi agar studi banding bisa efektif.

"Kalau kita melihat, masyarakat itu tidak melarang, tapi menekankan pada efektivitas, transparansi dan akuntabilitas kepada publik karena dengan keterbukaan informasi sekarang ini, kalau tidak disampaikan, maka cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga," kata Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.

Menurut Taufik, dalam rapat pimpinan DPR disampaikan soal penyampaian informasi ke masyarakat soal rencana keberangkatan, kepulangan dan agenda yang jelas. Namun bila ada agenda yang mendadak dan mendesak, semua anggota diminta untuk menyampaikannya sepulang ke tanah air, demi menjaga akuntabilitas kepada masyarakat.

"Kalau kemudian posisi masyarakat melarang itu tidak tepat. Kalau kemudian masyarakat memposisikan melarang DPR, tidak boleh melakukan kunjungan, nanti ada konvensi internasional, semua parlemen datang, kecuali Indonesia. Ini kan lucu, artinya posisi masyarakat adalah ingin keterbukaan akuntabilitas," ungkap Taufik.

Kualitas DPR Sekarang Terendah Sepanjang Sejarah

Masyarakat mulai meragukan wawasan dan kredebilitas yang dimiliki anggota DPR. Keraguan tersebut bukan tanpa alasan sebab anggota dewan banyak melakukan tindakan bodoh dan konyol.

Sebut saja salah satunya pembohongan email yang dilakukan Komisi VIII DPR
di depan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Australia atau Komisi X yang membawahi olahraga, dan pariwisata kedapatan berfoto-foto dan membeli tiket pertandingan Real Madrid di ke Stadion Santiago Bernabeu, Spanyol.

Sejak Pemilu 2009 lalu, wajah-wajah yang menduduki kursi di DPR sebenarnya rata-rata diisi oleh wajah baru. Bahkan, tingkat pendidikan yang menjadi latar belakang wakil rakyat itu rata-rata berada di level strata satu. Sayangnya, tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dihasilkan di gedung DPR.

"Ini memang memprihatinkan, kualitas DPR kita sangat jauh merosot pada titik terendah di sejarah Indonesia," ujar pengamat politik Yudi Latief kepada detikcom.

Dulu dikenal idiom tentang politik yaitu berpolitik untuk hidup. Sayang hal tersebut tidak tercermin dari para anggota dewan sekarang. Tagline "Hidup dari politik" seakan telah menjadi penyakit yang tertanam di kepala wakil rakyat sekarang.

Proses berpikir yang ingin mendapatkan materi secara cepat telah menjangkiti seluruh wakil rakyat.

Ada beberapa hal mendorong hal tersebut. Pertama, pada politik yang mahal modal. Wakil rakyat yang duduk di DPR harus segera mencari sumber pendapatan lain untuk mengembalikan uang-uang yang dipergunakan saat Pemilu 2009 lalu.

Kedua, praktek untuk mendapatkan modal tambahan yang juga didukung oleh sistem politik anggaran yang berasal dari Kementerian Keuangan. Pada kunjungan kerja keluar negeri dan daerah, Kementerian Keuangan memberikan porsi yang cukup besar untuk pengalokasian dana.

Tanpa malu-malu, wakil rakyat memanfaatkan kesempatan tersebut dan memperoleh dana yang besar dari kunjungan per hari yang dilakukannya, terlebih pada kunjungan ke luar negeri.

"Maka dengan berbagai cara dicarilah studi banding dan sering tidak masuk akal. Misalnya kunjungan ke Yunani soal Etika. Kenapa Yunani? karena di Yunani sana barang-barang yang dijual murah, mereka bisa belanja," kata Yudi.

Kordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, anggota DPR saat ini memandang dirinya sebagai yang paling pintar. Hasil Pemilu 2009 telah menghasilkan wakil rakyat yang bertipe sering menghamburkan uang.

Menurut Sebastian, negara terlalu royal memberikan uang kepada anggota DPR.
Ketika dilakukan penyusunan anggaran, anggota DPR secara berjamaah mengalokasikan dana untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, dengan hasil yang didapatkan bisa dikatakan nol besar.

"Selama tidak ada kebijakan yang jelas soal politik anggaran, yang ada hanya kunjungan kerja yang bersifat foya-foya. Selama masih bersifa kolektif kunjungan kerja, dengan berangkat dalam jumlah yang banyak maka kunjungan kerja tidak akan pernah serius," tegas Sebastian.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan tidak menampik kekonyolan dalam studi banding DPR. Pemandangan Komisi X yang sedang berfoto-foto di depan Stadion Santiago Bernabeu dinilai Taufik sebagai tindakan yang mirip dengan tingkah anak Playgroup.

"Saya meminta agar jangan terkesan kunjungan tersebut kontraproduktif, inikan niatnya baik. Terkait perilaku anggota DPR, tentunya kunjungan ke luar negeri bukan kunjungan Playgroup, anggota DPR itu harus sudah matang," ujar Taufik.

Namun, Taufik meminta masyarakat untuk segera menghentikan polemik yang membicarakan tentang kekonyolan anggota DPR di luar negeri. Taufik tetap berdalih bahwa kunjungan anggota DPR bersifat konstitusional.

Burhanudin Muhtadi: Studi Banding Hanya Tutupi Nafsu Pelesiran

Studi banding anggota DPR ke luar negeri diusulkan agar dihentikan sementara (moratorium). Studi banding sekarang dinilai tidak efektif karena lebih banyak menjadi acara pelesiran anggota DPR.

"Kita lihat saat ini banyak studi banding yang dilakukan DPR hanya sekadar menutupi nafsu pelesiran saja. Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak jelas, kabur dan tidak akuntabel, mekanisme tidak jelas, sebagian besar seperti itu," kata pengamat politik yang juga peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi kepada detikcom.

Studi banding yang tidak tepat sasaran misalnya terjadi pada studi banding Komisi VIII RUU Fakir Miskin di Australia. Kemiskinan dialami suku Aborigin yang mendiami wilayah Australia bagian utara. Tapi anggota DPR justru mendatangi Sydney dan Melbourne.

"Coba dicek kok anggota Komisi VIII DPR malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal konsentrasi kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini kelihatan dari awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan ke Sydney dan Melbourne," kata Burhan.

Bagaimana soal survei yang dilakukan LSI tentang studi banding anggota DPR?

Kalau ini ditanyakan kepada masyarakat atau publik, hampir sebagian besar masyarakat, 78 persen masyarakat menolak bahwa studi banding meskipun dengan alasan meningkatkan kinerja. 78 persen masyarakat menolak studi banding dengan alasan meningkatkan kinerja, karena selama ini studi banding yang dilakukan DPR lebih tampak sebagai kedok untuk menutupi nafsu pelesiran, ketimbang retorika meningkatkan kinerja.

Contoh sederhana, kalau memang argumennya peningkatan kinerja, kenapa fungsi legislasi anggota DPR sekarang, khususnya tahun 2010 jauh dari harapan. Dari target 170 RUU yang harusnya mereka undangkan, hanya tercapai 17 UU, atau hanya 10 persen dari 170 RUU untuk tahun 2010. Dari sisi bujeting, itu ada Rp 1,1 triliun dana APBN Perubahan tahun 2010 yang tidak jelas peruntukannya.

Terkait fungsi kontrol, fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan anggota DPR tidak lebih sekadar untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Misal kasus Bank Century yang tidak jelas kelanjutannya. Fungsi pengawasan sering ujung-ujungnya sekadar untuk mencari atau memeras mitra kerja. Karena itu, di mata publik, alasan untuk meningkatkan kinerja melalui studi banding hanya retorika kosong.

Apa alasan LSI melakukan survei saat itu?

Kita melakukan survei khusus terkait DPR karena bagaimana pun DPR pilar penting demokrasi. DPR adalah produk dari kinerja demokrasi yang seharusnya mendengarkan aspirasi publik.

Saya prihatin dengan DPR, karena dibanding dengan lembaga demokrasi lain tingkat kepercayaan publik pada DPR paling rendah. Bandingkan dengan kepercayaan publik terhadap lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga institusi lain. Kepercayaan pada DPR dan partai politik paling rendah.

Hasil survei kita sebenarnya pernah kita laporkan ke DPR, untuk memperbaiki kinerja mereka. Karena bagaimana pun DPR adalah institusi penting dalam struktur dan sistem tata negara kita, yang harus menjaga kepercayaan publik, bukan terus-menerus membuang deposito kepercayaan publik. Sebab, jika sebagai lembaga perwakilan produk demokrasi DPR gagal menjaga kepercayaan publik, itu sama saja membunuh demokrasi.

Seperti apa detail hasil survei LSI ini?

Survei ini kita lakukan kepada 1.220 orang di 33 provinsi, pada akhir November-September 2009. Tidak lama setelah anggota DPR periode 2009-2014 dilantik.

Jadi kita temukan ekspetasi profil anggota DPR melalui sistem suara terbanyak, yang sebelum mereka bekerja, tingkat harapan masyarakat sebenarnya cukup lumayan.Makanya harapan publik itu seharusnya direalisasikan dan dipenuhi anggota DPR.

Sebab, dibanding periode sebelumnya, periode sekarang dari komposisi gender, keterwakilan perempuan cukup banyak. Dari sisi usia, kebanyakan usianya lebih muda, ketimbang periode sebelumnya. Periode sekarang, anggota berusia 25-60 tahun 60 persen, terbesar dibanding masa-masa sebelumnya. Dilihat dari sisi pendidikan, saat ini relatif tinggi, sampai ada yang Master dan doktor.

Yang berlatar belakang pengusaha juga besar. Karena pemilu tahun 2009 lalu dengan sistem suara terbanyak, popularitas menjadi penting. Hal ini melahirkan kompetensi, dan banyak caleg yang membutuhkan uang besar. Akhirnya yang terseleksi mereka-mereka yang terpilih berlatar belakang pengusaha.

Dan hampir sebagian besar 70 persen dari 500-an anggota DPR itu adalah muka-muka baru. Nah awalnya ini menjadi harapan, tapi belakangan menjadi beban juga, karena belum punya pengalaman, belum punya jam terbang.

Akhirnya mengulang kekonyolan-kekonyolan yang tidak perlu yang lebih parah dibanding periode sebelumnya. Kekonyolan ini distimulasi oleh kekurangan pengalaman dan kekurangmampuan mereka dalam melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, bujeting dan pengawasan yang seharusnya mereka emban. Akhirnya mereka masuk dalam sebuah sistem yang jauh lebih buruk, semacam predator parlemen, atau parlemen pemangsa yang semacam menjauhkan dari harapan publik.

Secara umum, persepsi (baik dan sangat baik) publik terhadap upaya DPR dalam memberantas korupsi sekitar 51,3 persen, moral anggota DPR sekitar 39,8 persen, kapasitas anggota DPR sekitar 55,7 persen dan tingkat keaktifan dalam mengikuti sidang DPR sekitar 40,4 persen. Dari empat indikator di atas, masyarakat menilai bahwa anggota DPR sekarang ini punya masalah serius dengan isu-isu moral dan juga tingkat keaktifan di DPR yang relatif rendah.

Sementara ketika reponden tentang kunjungan anggota DPR keluar negeri, sekitar 0,8 persen responden menjawab sangat setuju, 18,9 persen setuju, 61,3 persen tidak setuju, 9,8 persen sangat tidak setuju dan 9,3 persen menjawab tidak tahu. Di antara beberapa pernyataan yang kita sodorkan, masyarakat terbelah sebagian mengatakan bahwa anggota DPR lebih banyak memperjuangkan kepentingan rakyat tapi pada kisaran yang sama responden mengatakan bahwa anggota DPR banyak yang memperjuangkan kepentingan partainya.

Proporsi yang menjawab anggota DPR lebih banyak memperjuangkan kepentingan sendiri juga besar. Sebagian besar masyarakat pernah mendengar pemberitaan soal anggota DPR yang tersangkut kasus hukum/korupsi dan mendengar informasi soal kasus moral. Tingkat kepercayaan publik terhadap media massa, DPR, birokrasi dan partai politik dalam menyalurkan aspirasi masyarakat relatif rendah. Dari empat lembaga tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang paling rendah.

Secara umum, masyarakat menilai kinerja anggota DPR dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, memberi masukan kepada pemerintah, legislating, bujeting dan responsif terhadap aspirasi rakyat dalam memperjuangkannya dalam bentuk kebijakan berada di kisaran 45 persen hingga 57 persen.

Dari kelima fungsi tersebut, tingkat responsiveness anggota DPR terhadap aspirasi rakyat dinilai paling rendah. Adapun kinerja lembaga-lembaga lainnya, menunjukkan lembaga kepresidenan dan tentara yang paling diapresiasi publik. Sementara itu, partai politik, Kementerian Koordinator Ekonomi dan Kejaksaan berada paling rendah.

Jadi ini berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan anggota DPR ini?

Oh iya. Kalau dari sisi pendidikan jauh lebih berpendidikan banyak yang S2 dan S3. Semua memang anggota partai politik semua, tapi mereka baru periode sekarang menjadi anggota DPR, makanya saya sebut muka baru.

Efektif tidak studi banding yang dilakukan DPR sekarang?

Kalau dikatakan efektif atau tidak, tapi sebagian besar memang tidak efektif. Saya sendiri tidak menolak bahwa studi banding itu penting. Tapi mekanisme studi banding ini diperjelas. Sebelum mekanisme, transparansi dan konsep studi banding diperjelas, seharusnya studi banding itu dimoratorium atau dihentikan sementara dahulu.

Konsep, urgensi, mekanisme dibereskan dahulu, baru kemudian bicara kelanjutan studi banding. Ada beberapa studi banding yang urgen, misalnya studi banding untuk perumusan RUU Otoritas Jasa Keuangan, dan dilakukan di suatu negara yang tepat sasaran.

Tapi kita lihat saat ini banyak studi banding yang dilakukan DPR hanya sekadar menutupi nafsu pelesiran saja. Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak jelas, kabur dan tidak akuntabel, mekanisme tidak jelas, sebagian besar seperti itu. Misalnya dalam penyusunan RUU Rumah Susun, itu studi banding tidak tepat dan salah sasaran. Yang terakhir kasus studi banding RUU Fakir Miskin di Australia. Kita tahu, postur kemiskinan di Australia dan Indonesia lain.

Di Australia didominiasi kemiskinan dialami suku Aborigin yang mendiami wilayah Australia bagian utara. Coba dicek kok anggota Komisi VIII DPR malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal konsentrasi kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini kelihatan dari awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan ke Sydney dan Melbourne.

Melihat penolakan masyarakat menolak studi banding, apakah studi banding layak dihapuskan?

Kalau saya fair saja. Saya kira penolakan besar masyarakat itu terkait dengan sering kalinya anggota DPR memanipulasi alasan peningkatan kinerja untuk menjustifikasi studi banding, iya. Tapi kalau misalnya anggota DPR berhasil meyakinkan publik, bahwa studi banding urgen, konsep jelas, transparan, tepat sasaran, mungkin publik tidak akan menolak sebesar itu.

Jadi saya fair saja, studi banding dalam beberapa hal memang perlu seperti dalam pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan perlu, kita harus akui itu. Tapi jangan sampai studi banding itu dipakai sekadar untuk membuang-buang uang anggaran. Seperti yang kita lihat sekarang kesan buang-buang anggarannya terlihat, konsep tidak jelas dan seterusnya.

Kalau dihapus tidak, hanya diperjelas saja konsep, urgensi, mekanisme yang tepat dan tranparasi yang jelas. Kalau syarat-syarat ini dipenuhi, paling studi banding itu tidak banyak, selebihnya bisa ganti format studi banding dengan memanggil ahli dari luar negeri, kan lebih murah.


*Sumber: detik.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar