RSS

UAN dikawal Densus 88, Guru Curang Salah Siapa?

John Whitehead, seorang pengamat pendidikan asal Amrik yang kenal dekat dengan Sufi Majnun, dalam perbincangan dengan para sufi di teras mushola mengutarakan ketakjuban plus keheranannya dengan pendidikan di Indonesia, terutama dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UNAS). Bagaimana tidak takjub dan heran, John Whitehead menyaksikan sendiri bagaimana proses evaluasi hasil belajar siswa yang dilakukan serentak secara nasional itu harus dikawal dan dijaga oleh polisi dan bahkan dari detasemen khusus 88 anti teror. John Whitehead yang biasa hidup di negeri serba tertib hukum dan tertib aturan serta tertib prosedural, tidak menemukan alasan logis sebuah proses evaluasi belajar dikawal oleh polisi anti teroris.

Belum tuntas mengungkapkan keheranan dan ketakjubannya melihat realitas pendidikan di Indonesia khususnya UNAS, John Whitehead makin dibingungkan oleh penjelasan Sufi tua yang memberitahu bahwa UNAS sejatinya sudah ditetapkan oleh Mahkamah Agung – Lembaga Hukum Tertinggi Negara – untuk tidak diselenggarakan. “Faktanya, UNAS jalan terus meski sudah tegas-tegas dilarang Mahkamah Agung,” kata Sufi tua.

“Aduh, kehidupan bangsa ini benar-benar membuat kepala saya tambah pusing. Ini peristiwa aneh bin ajaib bagi orang Amerika,” kata John Whitehead memijit-mijit keningnya.

“Kenapa Anda menganggap kasus UNAS ini aneh bin ajaib, Tuan?” tanya Dullah.

“Bagaimana tidak aneh bin ajaib,” kata John Whitehead mendecakkan mulut berulang-ulang,”Sudah tegas-tegas UNAS dilarang oleh Mahkamah Agung, ternyata masih dijalankan juga. Itu namanya membangkang keputusan hukum mahkamah tertinggi negara. Itu aneh. Yang lebih ajaib, polisi itu kan aparatur negara penegak hukum. Bagaimana mungkin aparatur penegak hukum, bisa ikut mengawal departemen yang jelas-jelas membangkang ketetapan mahkamah tinggi hukum. Ini sungguh tidak masuk akal bagi orang Amerika yang paling rendah pendidikannya sekalipun.”

“Tapi polisi berhasil menangkapi guru-guru dan joki-joki yang membocorkan UNAS atau menyebarkan jawaban bagi siswa,” kata Dullah.

John Whitehead tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dullah yang tersinggung omongannya diketawakan, buru-buru menyergah,”Kenapa Anda ketawa?”

“Yang ditangkap itu kan guru-guru dari sekolah-sekolah kelas underdog, yang kurang pinter. Coba Anda cermati mereka yang ketangkap itu, pasti dari sekolah-sekolah di daerah yang tidak maju dan tidak termasuk sekolah unggulan,” kata John Whitehead menjelaskan.

“Maksudnya?” tanya Dullah kurang faham.

“Pernahkah Anda dengar guru-guru dari sekolah unggulan di kota-kota besar ketangkap melakukan kecurangan dalam UNAS?” tanya John Whitehead.

“Eemm kayaknya sih belum pernah dengar,” sahut Dullah,”Memangnya kenapa bisa begitu?”

“Karena semua sudah tahu sama tahu, bahwa sejak berbilang tahun silam banyak sekolah unggulan di berbagai kota besar melakukan praktek kecurangan dalam UNAS. Dan itu dibiarkan saja, karena anak-anak semua pihak yang terlibat – termasuk anak-anak wartawan, pengawas ujian, guru, dan bahkan polisi – belajar di sekolah-sekolah unggulan itu,” kata John Whitehead.

“Anda jangan memfitnah, Tuan,” sahut Dullah tidak terima karena isterinya mengajar di sekolah unggulan,”Anda harus punya bukti.”

“O saya pasti punya bukti itu,” sahut John Whitehead.

“Apa buktinya?”

“Rekaman proses UNAS di sejumlah sekolah unggulan yang dibuat tenaga volunteer saya dengan kamera tersembunyi. Selain itu, saya juga sudah merekam kesaksian ratusan mahasiswa mantan siswa sekolah-sekolah unggulan tentang bagaimana mereka bisa lulus serentak dengan nilai merata tingginya,” kata John Whitehead.

“Wah makin ruwet ini pendidikan nasional kita,” Dullah menggumam seolah ditujukan kepada diri sendiri.

“Tapi faktanya memang seperti itu,” sahut John Whitehead.

“Apa kira-kira yang akan Anda lakukan, brother?” tanya Sufi tua ingin tahu.

“Saya tidak bisa berbuat apa-apa, ini bukan negara saya. Saya hanya pengamat. Tapi saya berusaha mengetuk hati teman-teman LSM yang aktif dalam advokasi hukum untuk membela guru-guru yang ditangkap polisi karena dituduh curang dalam pelaksanaan UNAS,” kata John Whitehead.

“Kenapa Anda sangat peduli, Tuan?” tanya Dullah.

“Rasa keadilan milik semua manusia tak perduli warna kulitnya apa.”

“Maksudnya?” tanya Dullah kurang faham.

“Tindakan hukum terhadap guru-guru di daerah yang dituduh melakukan kecurangan, bagaimana pun melukai rasa keadilan saya. Sebab departemen pendidikan yang tegas-tegas membangkang ketetapan Mahkamah Agung – yang dengan menjalankan UNAS merupakan bukti bahwa departemen itu telah melakukan pembangkangan hukum – dengan seenaknya menghukum orang-orang lemah yang dianggap melanggar aturan main yang mereka buat, yang sebenarnya secara hukum sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Menghukum guru-guru yang dianggap curang dalam mengikuti UNAS, itu jelas-jelas prinsip hukum yang berpijak pada kaidah-kaidah hukum rimba HOMO HOMINI LUPUS,” kata John Whitehead sinis.
Sufi Majnun yang sejak semula diam, tiba-tiba ketawa sambil berkomentar,”John, saya sarankan Anda istirahat dulu. Anda terlalu serius menanggapi masalah pendidikan di negeriku ini. Biarlah orang-orang kami akan menyelesaikan masalah ini sendiri.”

John Whitehead mengangguk-angguk meng-iya-kan kata-kata Sufi Majnun.

Sambil tetap ketawa Sufi Majnun memberitahu para sufi bahwa nama kawannya yang pengamat pendidikan asal Amrik itu adalah John Hopkins. “Yang memberi tambahan nama Whitehead di belakang nama sahabat saya ini adalah saya. Kenapa itu saya lakukan? Karena, selama beberapa minggu mengamati pendidikan di negeri kita, sahabat saya yang semula berambut coklat kehitaman tiba-tiba berubah menjadi putih seluruhnya. Jadi saya sebut Whitehead, karena begitu cepat proses memutihnya rambut sahabat saya ini, gara-gara mikir pendidikan di negeri kita.”

“Itu baru mikir pendidikan ya rambut Mr John sudah putih,” tukas Sufi tua,”Coba ikut mikir soal hukum, politik, ekonomi, dunia medis,di negeri kita ini, dijamin rontok semua rambutnya: botak!”

Para sufi ketawa terbahak-bahak. John Hopkins Whitehead celingukan heran, tidak tahu apa yang diketawakan para sufi itu tapi akhirnya ia ikut ketawa.


Sumber: Kyai Agus Sunyoto

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar